3 Teknologi Inovatif untuk Mitigasi Perubahan Iklim

3 Teknologi Inovatif untuk Mitigasi Perubahan Iklim – Selaras dengan peningkatan suhu bumi, peristiwa cuaca ekstrem, dan pola curah hujan yang berubah, masyarakat di seluruh dunia menghadapi tugas mendesak untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.

Mengutip World Economics Forum, Selasa (3/7/2023), terdapat tiga teknologi inovatif yang berada di garis depan perubahan iklim. Ketiganya menawarkan harapan dan solusi praktis bagi terhadap perubahan iklim.

Apa saja ketiga teknologi itu, simak paparannya berikut ini.

1. Google Flood Hub – Machine Leraning untuk sistem Peringatan DIni Banjir.

Salah satu teknologi yang menonjol dalam ranah perubahan iklim adalah sistem peringatan dini Google Flood Hub. Memanfaatkan algoritme machine learning, sistem ini berfungsi sebagai mekanisme peringatan bagi indivdu yang tinggal didaerah rawan banjir yang disebabkan oleh sungai, lautan dan danau.

Dengan memberikan peringatan real-time melalui ponsel, Google Flood Hub memastikan bahwa orang yang berada dalam bahaya dapat mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk melindungi nyawa dan harta benda mereka.

Yang membedakan Google Flood Hub adalah kemampuannya menyajikan informasi dengan cara yang mudah digunakan. Peta genangan, disertai dengan pengukuran ketinggian banjir relatif terhadap tinggi badan orang dewasa, memberikan pemahaman yang jelas kepada individu tentang potensi risiko yang mereka hadapi.

Sejak layanan ini dirilis pada tahun 2018 lalu, ia telah mengirimkan 115 juta peringatan di wilayah berisiko tinggi di Bangladesh dan India, yang secara kolektif menampung 360 juta orang.

Didorong oleh kesuksesan itu, Google pun telah berencana memperluas layanannya untuk mencakup lebih banyak negara di Asia Selatan dan Amerika Selatan, dengan visi jangka panjang perluasan cakupan secara global.

2. Peran Penting AI dalam Adaptasi Iklim

Menurut perusahaan konsultan global BCG, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) akan memainkan peran penting dalam upaya adaptasi iklim. Dalam Kerangka Kerja Penggunaan AI untuk Memerangi Perubahan Iklim, BCG mengidentifikasi beberapa area di mana AI dapat memberikan dampak yang signifikan.

Prakiraan bahaya untuk kejadian jangka panjang, seperti kenaikan permukaan laut, dan kejadian ekstrem langsung, seperti angin topan, dapat ditingkatkan melalui sistem berbasis AI. Dengan mengelola kerentanan dan keterpaparan, AI memungkinkan pengembangan infrastruktur yang meminimalkan dampak merugikan dari bahaya iklim.

Contoh utama dari potensi AI ditunjukkan oleh Pano AI yang berbasis di San Francisco, yang menggunakan teknologi tersebut untuk mendeteksi kebakaran hutan.

Dengan memindai umpan video dari kamera puncak gunung, Pano AI dapat segera mengidentifikasi tanda-tanda awal wabah kebakaran hutan, sehingga pemilik rumah dan responden pertama dapat mengambil tindakan cepat.

3. IoT untuk Pengelolaan Air

Pengelolaan air yang efisien menjadi sangat penting seiring dengan suhu yang terus meningkat dan pola curah hujan yang menjadi semakin tidak dapat diprediksi akibat perubahan iklim.

Guna mengatasi tantangan ini, Internet of Things (IoT) telah muncul sebagai alat yang ampuh dalam memaksimalkan dampak pasokan air, khususnya dalam konteks pertanian.

Khususnya, Brasil, Italia, dan Spanyol telah menerapkan sistem pengelolaan air berbasis IoT. Dalam sebuah laporan untuk Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik, peneliti Cristina Bernal Aparicio dan Siope Vakataki ‘Ofa menemukan bahwa “IoT terbukti efektif dalam mengurangi konsumsi air dan biaya energi.

Proyek SWAMP, yang dilaksanakan di negara-negara tersebut di atas, menunjukkan potensi penghematan air yang luar biasa mulai dari 18 hingga 38 persen.”

Menempatkan Teknologi di Sektor yang Paling Dibutuhkan

Sementara teknologi ini menawarkan solusi menjanjikan, potensi teknologi untuk memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan tindakan yang dipercepat dalam pengembangan, penerapan, dan transfer teknologi iklim, terutama ke negara-negara berkembang.

Terlepas dari banyak inovasi dalam teknologi adaptasi iklim yang berasal dari utara global, sangat penting untuk memprioritaskan kebutuhan komunitas di selatan global, di mana mayoritas orang menghadapi dampak perubahan iklim yang akan segera terjadi.

Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Tahun 2020 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi Indonesia. Awal tahun kita dikejutkan oleh banjir di Jabodetabek dan Banten yang mencatat curah hujan tertinggi dalam 150 tahun dengan korban jiwa yang tinggi.

Menurut laporan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada bulan September 2020 Indonesia berada pada perubahan iklim ekstrim. Berdasarkan pengumpulan data dari 89 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata bulan September 2020 adalah 27,2°C.

Suhu ini naik 0,6 C dibandingkan dengan suhu rata-rata bulan September periode 1981-2010 di Indonesia yaitu sebesar 26,6°C. Anomali suhu udara di Indonesia September 2020 ini merupakan anomali tertinggi ketiga sepanjang periode data pengamatan. Meningkatnya suhu udara, konsentrasi gas karbondioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer akan menyebabkan efek rumah kaca.

World Resources Institute pada tahun 2021 mencatat Indonesia termasuk ke dalam sepuluh negara penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia. Gas ini dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia seperti emisi bahan bakar fosil, kehutanan dan penggunaan lahan & gambut, pertanian, lahan gambut, limbah dan juga kegiatan industri. Pada tahun 2017, dua sektor pertama yang disebutkan sebelumnya menyumbang 73 persen emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Seminar internasional mengenai teknologi hijau ini merupakan wadah yang digagas BPPT bersama Green Technology Center Korea untuk mencari solusi teknologi terbaik dan tercepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang akan mempengaruhi perubahan iklim secara global, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza di Jakarta (25/05).

Hammam menyebut, dalam kurun waktu 2015-2019, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah ditingkatkan pemerintah, terlebih untuk target pengurangan gas rumah kaca. Berdasarkan RPJMN 2020-2024, Indonesia menargetkan dapat meningkatkan penurunan emisi GRK sebesar 27,3% pada tahun 2024.

Dirinya menilai untuk menghadapi dan meminimalisir dampak perubahan iklim, Indonesia harus memusatkan kegiatan berdasarkan beberapa strategi, salah satunya dengan mengembangkan dan menggunakan teknologi untuk mendukung upaya adaptasi dan meningkatkan keberlanjutan masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim, khususnya dalam rangka menunjang upaya adaptasi. untuk meningkatkan keberlanjutan pangan dan kualitas kesehatan.

Semua penelitian dan inovasi teknologi di bidang perubahan iklim menurutnya harus dikolaborasikan dalam sebuah ekosistem inovasi yang melibatkan pemerintah, industri, akademisi, hingga komunitas, atau yang lebih dikenal dengan istilah quadruple helix.

Hammam menilai sinergi quadhelix ini akan meningkatakan kapasitas dan kualitas penelitian, serta mempercepat penyebaran teknologi hijau di Indonesia melalui alih teknologi dari Korea Selatan. Sinergi antar kedua negara ini pun telah terbentuk sejak Tahun 2019 lalu dalam sebuah wadah bernama Green Technology Partnership Initiative (GTPI).

Ia berharap GTC dan GTPI dapat memberikan dukungan kepada BPPT untuk dapat berperan dalam pengembangan teknologi hijau sebagai respons terhadap perubahan iklim global di berbagai sektor seperti pertanian, energi dan lingkungan di Indonesia.

Sebagai informasi hingga saat ini, BPPT telah berhasil menghasilkan inovasi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, beberapa diantaranya adalah: Teknologi Modifikasi Cuaca yang telah diimplementasikan sebagai upaya mengatasi kekeringan, banjir di Jakarta, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, mencegah kebakaran hutan di Riau, serta untuk meningkatkan muka air di Danau Toba, Sumatera Utara dan beberapa waduk pembangkit listrik tenaga air di Jawa.

Pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Biogas POME adalah upaya pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit untuk diolah menjadi energi (waste to energy) yang memiliki kapasitas listrik 700-1.000 kW. Pembangkit Listrik Tenaga Biogas POME yang diaplikasikan di pabrik kelapa sawit PTPN V, Riau berpotensi menghasilkan listrik sebesar 2 MegaWatt dan berpotensi untuk mensuplai listrik untuk sekitar 1500 rumah. Micro Grid merupakan kerjasama dengan Pemprov DKI untuk membangun sistem sambungan jaringan listrik di Pulau Pramuka. Tujuannya agar Pulau Pramuka menjadi center of excellence penerapan energi terbarukan di pulau-

pulau kecil Indonesia.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dengan kapasitas 700 kilowatt listrik per jam. Dengan potensi mengolah hingga 100ton sampah per hari di Bantar Gebang (sampah DKI Jakarta) dan 18ton sampah per hari di Labuan Bajo (kawasan pariwisata), pembangkit listrik ini diharapkan menjadi proyek percontohan yang ditujukan untuk mengatasi masalah sampah kota besar di Indonesia.

Smart Farming Technology. Teknologi optimalisasi produktivitas pertanian melalui pemanfaatan kecerdasan artifisial. Menggunakan teknologi sensor, aktuator, penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan global positioning system (GPS). Teknologi ini dapat meningkatkan produksi pertanian dan meningkatkan pemantauan, pemanenan, pemrosesan dan pemasaran secara real-time dan akan diterapkan pada tahun 2021 di LAPTIAB Serpong. (Humas BPPT)

Scroll to Top