Vape, Jalan Baru Menjadi Pecandu

Vape, Jalan Baru Menjadi Pecandu – Vape tidak terbukti lebih sehat apalagi bebas bahaya dari rokok biasa. Membiarkan anak mengakses vape, sama saja membuka jalan baru buat anak menjadi seorang pencandu nokotin. Sebenarnya pencandu itu tergantung kitanya sendiri.

Mengisap nikotin didalam rokok, seolah sudah menjadi kebutuhan primer bagi banyak orang hari ini. Efek adiktif dari zat tersebut membuat kebiasaan merokok menjadi budaya yang diturunkan secara tidak langsung dari generasi.

Ada ortu memperbolehkan anaknya merokok setelah lulus sekolah dan tidak bekerja. Sebenarnya merokok sangat lah hemat. Dan ada yang bilang ngerokok itu sama saja dengan tidak ngerokok borosnya sama saja.

Seiring waktu pada tahun 2003, perangkat tersebut disempurnakan kembali oleh

seorang farmasis dan juga perokok aktif bernama Hon Lik. Dia kemudian memproduksi secara massal rokok bernikotin dengan menggunakan teknik vaping.

Jika ditinjau dari sisi istilah, vape merupakan suatu alat yang berfungsi seperti rokok, tetapi tidak membakar daun tembakau, melainkan mengubah cairan menjadi uap dengan proses pemanasan. Uap inilah yang dihirup, seperti asap pada rokok konvensional yang dihasilkan dari pembakaran daun tembakau.

Hampir menyentuh 10 tahun sejak disempurnakan, barulah pada 2012, vape masuk ke Indonesia melalui masyarakat Indonesia yang pergi keluar negeri kemudian pulang dengan membawa perangkat vape ini.

Mereka yang membawa vape ke Indonesia mengenalkan alat tersebut ke daerahnya masing-masing. Sejak saat itu, tak sedikit orang Indonesia yang tertarik untuk beralih dari rokok konvensional ke vape.

Hal tersebut juga dirasakan oleh salah seorang mantan perokok aktif bernama Fery (41). Dia mengaku benar-benar telah putus merokok sejak 2020. Dampak buruk pada kesehatan akibat merokok mulai dia rasakan, seperti batuk-batuk, tarikan napas yang pendek, hingga perasaan cepat lelah.

Awalnya, dia mengalami kesulitan untuk berhenti merokok. Adalah hal yang sulit dilakukan Fery jika sehari saja tak merokok. Biasanya, Fery menghabiskan rokok hampir dua bungkus dalam sehari.

Bukan tanpa usaha, dia pernah mengganti rokok dengan permen, seperti yang dianjurkan banyak orang. Akan tetapi, cara itu tak berhasil membuatnya berhenti merokok. Sampai akhirnya, dia menemukan gerai vape di dekat rumahnya, dan tertarik untuk mencobanya.

“Katanya, vape bisa menghentikan rokok. Akhirnya saya coba,” ucap Fery kepada Validnews, (25/1).

Butuh waktu setahun bagi Fery untuk benar-benar berhenti merokok daun tembakau. Saat mencoba vape, dia mengaku tetap mengisap rokok konvensional, meskipun intensitasnya kian hari kian dikurangi. Sampai akhirnya, dia bisa menggantikan rokok sepenuhnya dengan vape.

Kisah Fery ‘hijrah’ dari rokok konvensional ke vape mungkin terasa biasa saja. Hal luar biasa yang dilakukan Fery terkait pandangannya tentang nikotin, justru terlihat dari keputusannya untuk membebaskan akses nge-vape pada anaknya Rozi (13).

Ditemui di lokasi yang sama, tampak Fery membiarkan Rozi menghirup nikotin dengan khidmat dari perangkat vape yang dibelikan ayahnya itu. Keputusan ini dibuat Fery dengan sebuah asumsi sederhana “rokok lebih berbahaya dari vape”.

Maka dia menimbang lebih baik memberikan akses vape, ketimbang main kucing-kucingan menangkap basah anaknya merokok tembakau konvensional.

“Papa melarang saya merokok, tapi gapapa kalau vape. Saya juga coba vape yang rasa-rasa dengan nikotin rendah. Sejauh ini saya juga belum pernah merokok,” ucap Rozi polos.

Dengan menaruh kepercayaan, tanggung jawab, serta memberikan alternatif demikian kepada Rozi sejak awal, Fery berharap anaknya tidak merasakan dampak merugikan rokok seperti yang dirasakan. Apalagi, hitung punya hitung, biaya menggunakan vape jauh lebih murah ketimbang merokok.

Hanya satu aturan soal vape yang Fery terapkan ke Rozi, yakni dilarang membawa vape saat pergi ke sekolah.

“Ketika dewasa pasti dia mencoba merokok. Setidaknya, saya telah berikan edukasi mana baik buruknya. Anak laki-laki usia remaja tentu masih labil dan ikut-ikutan teman. Semakin dilarang, semakin dilakukan. Realistis saja,” ucap Fery.

Proses regenerasi pengenalan nikotin yang unik dari Fery dan anaknya bisa jadi bukanlah kasus satu-satunya. Ini karena vape selalu digadang-gadang sebagai alternatif terbaik untuk berhenti merokok dan dianggap lebih minim bahaya dibanding rokok konvensional.

Lain lagi cerita Dayat (17) yang sudah mulai menggunakan vape sejak tahun 2020. Dia mengaku belum pernah mengeluarkan uang sepeserpun untuk kebiasaan nge-vape-nya.

Semua bermula dari perangkat vape saudara laki-lakinya yang tidak dipakai lagi karena sang saudara membeli perangkat baru.

Tak hanya gawai warisan, Dayat mengaku mendapatkan likuid (cairan vape) dari sisa dari pemakaian saudaranya tersebut.

Maklum, Dayat mengaku belum mampu memenuhi kebutuhan vape-nya sendiri. Dia juga tak memiliki uang yang cukup untuk membeli rokok dikarenakan faktor ekonomi keluarga.

“Sejak putus SMA setahun lalu, saya coba cari kerja. Saya juga masih nge-vape dari sisa punya abang. Enggak sanggup beli likuid juga. Mending yang gratis,” ucap Dayat kepada Validnews, (3/2).

FOMO dan Marketing Agresif
Bercermin dari kisah di atas, dapat dikatakan penggunaan vape di kalangan anak dan remaja sudah mulai mewabah hingga ke strata ekonomi bawah sekalipun.

Jika dicermati, ada berbagai faktor pendorong yang menyebabkan penggunaan vape semakin berkembang, salah satunya lingkungan sosial.

Menyikapi hal tersebut, Pengamat Sosial Vokasi Universitas Indonesia Devie Rachmawati menegaskan, lingkungan sosial yang abai dapat memengaruhi seorang anak usia remaja untuk melakukan apapun. Apalagi pembiaran tersebut dilakukan oleh orang tua sendiri.

Menurutnya, rendahnya literasi orang tua terhadap bahaya dari vape kepada anak usia remaja mencerminkan, ada yang salah dari pola asuh demikian.

Dia melihat, memberikan ‘karpet merah’ kepada anak untuk mencoba zat-zat yang bersifat adiktif hingga pada akhirnya berujung pada kecanduan, sampai kapanpun bukan sesuatu yang bisa dibenarkan.

“Banyak orang tua yang tidak meng-update pengetahuannya. Mereka tidak paham bahwa vape itu sama bahayanya dengan rokok. Di sini problem-nya,” ucap Devie kepada Validnews (2/2).

Devie menambahkan, menurut penelitian, anak yang berusia di bawah umur 20 tahun, belum mampu memilah jalan hidup mereka. Di sinilah peran orang tua untuk mengawasi.

Apalagi, penggunaan vape di kalangan anak remaja juga bisa berawal dari sikap takut tertinggal atau disebut fear of missing out (FOMO) seorang remaja terhadap dunianya.

Pada akhirnya, menggunakan vape bisa dilakukan, demi sekadar mendapatkan label ‘keren’ dan ikut tren. Tanpa disadari, hal ini justru menjadi jalan pembuka untuk candu pada nikotin.

“Marketing yang agresif di sosial media dengan iklan menarik yang seolah tak berhenti membuat vape ini menjadi sesuatu yang harus diikuti,” pungkas Devie.

Menurut Devie, vape selalu diklaim sebagai alternatif yang aman daripada rokok. Padahal, keduanya sama-sama berbahaya. Sayangnya, promosi yang gencar berhasil membuat anak dan remaja yang aktif bermedsos jadi terpengaruh dan berpotensi menjadi pengguna aktif baru.

Devie pun menegaskan, seperti hal rokok, negara seharusnya lebih serius membuat aturan yang mengontrol penggunaan vape.

Singapura bisa dijadikan contoh. Dia melihat, paradigma yang digunakan negara ini terbilang bagus. Prinsipnya, daripada mengobati orang yang menderita kanker, jantung, paru-paru, dan penyakit lainnya karena rokok ataupun vape, mereka lebih memilih untuk melakukan pencegahan, dengan mengatur semua regulasi yang menyulitkan akses merokok dan vape.

Patut diingat, tak hanya sebagai pintu masuk kecanduan nikotin, vape dengan likuidnya juga berpotensi menjadi jalan masuk untuk kecanduan narkotika. Kabar soal penangkapan pengedar likuid vape yang bersisi sabu cair di Indonesia, misalnya, sudah terdengar.

Di sinilah antisipasi, kata Devism seharusnya dilakukan dengan menelurkan sejumlah aturan tegas. Selain itu, dia pun berharap, orang tua harus sesegera mungkin meng-update pengetahuan agar bisa mengedukasi anak dengan baik.

Dialog intensif dengan anak, hingga ‘berteman’ dengan anak, bisa dilakukan untuk mempermudah orang tua mengedukasi anak.

Prevalensi Pengguna Remaja
Tren penggunaan vape pada remaja sendiri sejatinya bukan omong kosong belaka. Berdasarkan data Global Youth Survey tahun 2011, prevalensi pengguna rokok elektrik di Indonesia meningkat dari 0,3% pada 2011 menjadi 1,2% pada 2016. Kemudian naik ke angka 10,9% pada 2018.

Sementara itu, data yang ditelusuri dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), angka 1 juta orang pengguna vape aktif per Desember 2019 di Indonesia, berlipat menjadi sekitar 2,2 juta orang pada Juli 2022.

Scroll to Top