Turnitin Luncurkan Teknologi Al Deteksi Tulisan ChatGPT di Kalangan Siswa – Penyedia solusi integritas akademik Turnitin akan mengaktifkan kemampuan kecerdasan buatannya (artifical Interlligence) dalam mengidentifikasi penggunaan peranti penulisan berbasis Al (termasuk ChatGPT), dengan tingkat kepercayaan 98% sehingga memungkinkan para pengajar menganalisis dan meninjau keaslian sebuah karya akademik.
Turnitim mulai menggarap kemampuan deteksi untuk GPT3, teknologi yang mendasari banyak aplikasi penulisan berbasis Al, sejak sekitar dua tahun sebelum ChatGPT dirilis. Dikembangkan untuk membantu pengajar dan lembaga akademik mengidentifikasi keberadaan teks yang dihasilkan Al dalam tulisan siswa, kemampuan Turnitin mendeteksi tulisan Al diintegrasikan ke dalam sistem Turnitin yang dapat diakses melalui sistem manajemen pembelajaran.
Para tenaga pengajar yang telah menggunakan Turnitin tidak memerlukan langkah tambahan untuk mengaktifkannya. Lebih dari 10.700 lembaga pendidikan dan lebih dari 2,1 juta pengajar akan dapat dengan cepat dan mudah mengecaluasi keberadaan teks yang dihasilkan Al.
Detektor AI Turnitin memberikan ukuran evaluatif tentang berapa banyak kalimat dalam tulisan yang dikirim yang bisa jadi dihasilkan oleh kecerdasan buatan, yang dapat digunakan pengajar untuk menentukan apakah peninjauan, penyelidikan, atau diskusi lebih lanjut dengan siswa diperlukan. Kemampuan deteksi tulisan AI Turnitin tersedia dalam produk dan solusi yang sudah ada, termasuk Turnitin Feedback Studio (TFS), TFS with Originality, Turnitin Originality, Turnitin Similarity, Simcheck, Originality Check, dan Originality Check+.
“Para pengajar mengatakan pada kami bahwa kemampuan mendeteksi teks tertulis buatan AI secara akurat adalah prioritas pertama mereka saat ini. Mereka harus dapat mendeteksi AI dengan kepastian yang sangat tinggi untuk menilai keaslian karya siswa dan menentukan cara terbaik untuk langkah penanganannya,” kata CEO Turnitin, Chris Caren dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/4).
“Sama pentingnya bagi mereka agar teknologi pendeteksian itu menjadi bagian dari alur kerja yang sudah ada, yang telah kami tindak lanjuti dengan mengintegrasikan kemampuan pendeteksian AI ke dalam solusi Turnitin,” lanjutnya.
Menurut James Thorley, Wakil Presiden Regional Turnitin Asia Pasifik, akademisi, pengajar, dan administrator universitas di Asia Tenggara sangat menyadari potensi dampak peranti AI seperti ChatGPT di wilayah tersebut.
“Para pengajar di Indonesia menyadari peranti AI dapat berdampak terhadap kualitas pekerjaan siswa dan pengalaman belajar. Namun, sementara komunitas menganggap bahwa peranti AI juga dapat menjadi kekuatan untuk kebaikan, ketergantungan yang tinggi pada teknologi dapat menghambat pemikiran kritis dan integritas akademik yang merupakan nilai inti untuk pengembangan masyarakat,” jelas Thorley.
Untuk membantu komunitas pendidikan menavigasi dan mengelola teknologi baru ini di kelas, Turnitin telah menerbitkan halaman sumber daya penulisan AI. Halaman web yang tersedia untuk umum diperbarui secara berkala dengan sumber daya praktis dari Tim Pengajaran dan Pembelajaran perusahaan, yang terdiri dari mantan pengajar maupun yang masih aktif.
Sumber daya saat ini mencakup glosarium istilah AI, panduan untuk memperbarui kebijakan integritas akademik di era AI, dan rubrik penyalahgunaan AI yang dapat diunduh untuk membantu pengajar secara proaktif mengantisipasi potensi penggunaan AI dalam tugas menulis yang diberikan. Halaman ini juga melaporkan kemajuan dalam penyempurnaan kemampuan deteksi seiring dengan teknologi penulisan AI yang terus berkembang.
Selama 25 tahun, Turnitin telah menjadi mitra tepercaya para pengajar, memberikan masukan tentang tulisan siswa, dan membantu menegakkan standar integritas akademik bagi lebih dari 16.000 lembaga pendidikan di 140 negara di seluruh dunia.
Penyedia layanan integritas akademik Turnitin, meluncurkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), untuk mendeteksi tulisan yang dibuat dengan ChatGPT di kalangan siswa.
Menurut perusahaan, teknologi ini akan mengidentifikasi penggunaan perangkat penulisan berbasis AI, termasuk ChatGPT, di kalangan siswa.
Turnitin mengklaim, teknologi AI ini memiliki tingkat kepercayaan 98 persen, sehingga membantu para pengajar menganalisis dan meninjau keaslian sebuah karya akademik.
Mengutip siaran pers, Jumat (7/4/2023), Turnitin mulai menggarap kemampuan deteksi untuk GPT-3, teknologi yang menjadi dasar banyak aplikasi penulisan berbasis AI, sejak sekitar dua tahun sebelum ChatGPT OpenAI rilis.
Teknologi ini dikembangkan untuk membantu pengajar dan lembaga akademik mengidentifikasi keberadaan teks yang dihasilkan AI, dalam tulisan siswa.
Kemampuan Turnitin mendeteksi tulisan AI diintegrasikan ke dalam sistem mereka, yang dapat diakses melalui sistem pembelajaran.
Perusahaan mengatakan, tenaga pengajar yang telah menggunakan teknologi ini, tidak membutuhkan langkah tambahan untuk mengaktifkannya.
Turnitin pun menyebut, sudah ada lebih dari 10.700 lembaga pendidikan dan lebih dari 2,1 juta pengajar, yang akan dapat dengan cepat dan mudah mengevaluasi keberadaan teks yang dihasilkan AI.
Untuk cara kerjanya, Detektor AI Turnitin memberikan ukuran evaluatif tentang berapa banyak kalimat dalam tulisan yang dikirim, yang bisa jadi dihasilkan oleh kecerdasan buatan.
Menurut Turnitin, dapat digunakan pengajar untuk menentukan apakah peninjauan, penyelidikan, atau diskusi lebih lanjut dengan siswa diperlukan.
Mendeteksi Tulisan Berbasis AI Jadi Prioritas
Perusahaan menyebut, kemampuan deteksi tulisan AI tersebut tersedia dalam beberapa produk dan solusi mereka.
Beberapa di antaranya seperti Turnitin Feedback Studio (TFS), TFS with Originality, Turnitin Originality, Turnitin Similarity, Simcheck, Originality Check, dan Originality Check+.
“Para pengajar mengatakan pada kami bahwa kemampuan mendeteksi teks tertulis buatan AI secara akurat adalah prioritas pertama mereka saat ini,” kata CEO Turnitin, Chris Caren.
“Mereka harus dapat mendeteksi AI dengan kepastian yang sangat tinggi untuk menilai keaslian karya siswa dan menentukan cara terbaik untuk langkah penanganannya,” imbuhnya.
James Thorley, Wakil Presiden Regional Turnitin Asia Pasifik, akademisi, pengajar, dan administrator universitas di Asia Tenggara, mengatakan dirinya sadar potensi dampak peranti AI seperti ChatGPT di wilayah tersebut.
“Para pengajar di Indonesia menyadari peranti AI dapat berdampak terhadap kualitas pekerjaan siswa dan pengalaman belajar,” kata Thorley.
Menurutnya, meski AI bisa dimanfaatkan untuk hal positif, ketergantungan yang tinggi pada teknologi ini bisa menghambat pemikiran kritis dan integritas akademik yang merupakan nilai inti pengembangan masyarakat.
Sisi Terang dan Kelam ChatGPT Bagi Dunia Pendidikan
Sebelumnya, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) Prof. Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, AI pada dasarnya dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia karena memiliki transformational power yang luar biasa.
Hal ini mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, perekonomian, kebijakan publik, governance, dan lainnya.
“Namun, seperti halnya hal-hal baru di dunia ini, selain membawa kebaruan dan keuntungan, ternyata AI juga membuka jendela bagi hal-hal yang berpotensi distruptif,” kata Harkristuti dalam webinar bertajuk Etika Penggunaan ChatGPT di Lingkungan Akademik.
Dalam bidang pendidikan, para pakar menilai mahasiswa dan murid dapat bertanya soal ujian dari bidang ilmu apapun, bahkan dapat dimanfaatkan untuk penyusunan karya tulis hanya dengan memasukkan kata kunci tertentu.
Namun, menurut para pakar dari UI, kemampuan ChatGPT yang sangat tinggi ini membuka peluang terbukanya fenomena paralel atau dua sisi mata uang.
Di sisi terangnya, teknologi AI ini menghadirkan kemampuan yang luar biasa bagi para pembelajar di dunia pendidikan. Namun, sisi kelamnya akan muncul baik dari aspek keterbatasan teknologi, persoalan etika, bahkan terbelenggunya sisi kemanusiaan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer UI, Prof. Heru Suhartanto mengatakan, dari sisi manfaat, ada sekitar 80 cara untuk memanfaatkan ChatGPT di ruang kelas, dengan kemampuan, kecepatan, dan akurasi penyediaan informasi.
Dampak Negatif dari ChatGPT
Hal serupa juga diamini oleh Ketua Panitia Webinar, Prof. Riri Fitri Sari, yang menyebut ChatGPT dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan teks berkualitas melalui konsep Reimagine Education.
“Ini karena ChatGPT memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan dengan akurasi yang tinggi dan mengambil informasi dari sumber daya eksternal, seperti Wikipedia,” kata Riri.
Meski begitu, misinformasi, disinformasi, dan malinformasi, menjadi sisi gelap ChatGPT yang harus diperhatikan, karena berdampak pada persoalan hukum dan etika. Persoalan hukum yang bertingkat pada level kebijakan global dan nasional pun juga telah diidentifikasi.
Menurut para pakar, beberapa dampak buruk penggunaan ChatGPT akurasi yang tidak 100 persen, karena data yang diambil dari internet kurang lengkap. Ketidaklengkapan ini bisa disebabkan karena kurangnya konteks.
Walau cerdas, menurut Guru Besar Fasilkom UI Prof. Wisnu Jatmiko, ChatGPT masih bisa salah memahami konteks, sehingga menghasilkan output yang tidak benar.
Selain itu, pemanfaatan ChatGPT yang kurang tepat, juga berisiko menumpulkan pemikiran kritis mahasiswa. Padahal menurut Wisnu, salah satu hal yang paling berharga dan bisa dikembangkan oleh mahasiswa adalah pemikiran kritis.