Serangan Teknologi Kian Masif, Dosen IT Ungkap Cara Mengantisipasi – Belakangan, marak wacana serangan teknologi. Bahkan, sejumlah ahli mengklaim serang teknologi dari waktu ke waktu semakin masif.
Untuk meminimalisirnya, perlu adanya perubahan pola pikir terkait resiko yang mungkin terjadi saat menggunakan teknologi.
Dosen IT senior Gunadarma I Made Wiryana menjelaskan, pada era 1990an serangan-serangan tersebut bisa dikatakan sangat minim.
“Makin lama makin besar. Ketika saya bermain internet tahun 90 an, namanya attack itu tidak banyak. Tapi semakin ke sini, ancaman itu semakin canggih dan makin beragam,” kata Made, yang juga Pakar Kompetensi Cyber Security dalam webinar ‘Cyber Security’ Teknovasi/Forum Teknologi Inovasi Jumat (9/6/2023).
Ancaman yang terjadi, sambungnya, dari mulai serangan fisik, sintetik, hingga semantik. Ancaman fisik, jelas dia, salah satunya menyadap saluran telepon atau radio, memutus dan mengarahkan ke saluran palsu.
“Ada sintatitk. Melakukan remote exploit DdoS,dan sebagainya. Lalu semantik, memanfaatkan serangan terhadap pemberitaan, misal hoax, defamation,” kata dia
Berbicara tentang cover security, jelas dia, tidak hanya fokus pada attack semata. Ditegaskannya, attack merupakan salah satu aspek dari aspek lainnya. “Aspek berikut nya adalah defensif. Bagaimana mempertahankan,” katanya lagi.
Lebih jauh dijelaskannya, hal yang paling sering terjadi miskonsepsi, kaitannya dengan serangan di dunia teknologi yakni sering melawan-kan antara kenyamanan dan keamanan. Padahal, seharusnya dua hal itu menjadi satu kesatuan.
“Jadi dalam kenyamanan harus ada keamanan. Karena ketika keamanan dan kenyamanan adalah hal yang berlawanan maka orang malas untuk pencegahan. Karena merepotkan,” katanya.
“Pengambil kebijakan juga harus memahami Cyber security. SDM itu penting dan seharusnya bagian security itu sudah dilibatkan dalam perencanaan. Sayangnya di Indonesia dilibatkan pada titik pengoperasian,” katanya lagi.
Belakangan, marak wacana serangan teknologi. Bahkan, sejumlah ahli mengklaim serang teknologi dari waktu ke waktu semakin masif.
Untuk meminimalisirnya, perlu adanya perubahan pola pikir terkait resiko yang mungkin terjadi saat menggunakan teknologi.
Dosen IT senior Gunadarma I Made Wiryana menjelaskan, pada era 1990an serangan-serangan tersebut bisa dikatakan sangat minim.
“Makin lama makin besar. Ketika saya bermain internet tahun 90 an, namanya attack itu tidak banyak. Tapi semakin ke sini, ancaman itu semakin canggih dan makin beragam,” kata Made, yang juga Pakar Kompetensi Cyber Security dalam webinar ‘Cyber Security’ Teknovasi/Forum Teknologi Inovasi Jumat (9/6/2023).
Ancaman yang terjadi, sambungnya, dari mulai serangan fisik, sintetik, hingga semantik. Ancaman fisik, jelas dia, salah satunya menyadap saluran telepon atau radio, memutus dan mengarahkan ke saluran palsu.
“Ada sintatitk. Melakukan remote exploit DdoS,dan sebagainya. Lalu semantik, memanfaatkan serangan terhadap pemberitaan, misal hoax, defamation,” kata dia
Berbicara tentang cover security, jelas dia, tidak hanya fokus pada attack semata. Ditegaskannya, attack merupakan salah satu aspek dari aspek lainnya. “Aspek berikut nya adalah defensif. Bagaimana mempertahankan,” katanya lagi.
Lebih jauh dijelaskannya, hal yang paling sering terjadi miskonsepsi, kaitannya dengan serangan di dunia teknologi yakni sering melawan-kan antara kenyamanan dan keamanan. Padahal, seharusnya dua hal itu menjadi satu kesatuan.
“Jadi dalam kenyamanan harus ada keamanan. Karena ketika keamanan dan kenyamanan adalah hal yang berlawanan maka orang malas untuk pencegahan. Karena merepotkan,” katanya.
“Pengambil kebijakan juga harus memahami Cyber security. SDM itu penting dan seharusnya bagian security itu sudah dilibatkan dalam perencanaan. Sayangnya di Indonesia dilibatkan pada titik pengoperasian,” katanya lagi.
Lebih jauh dijelaskannya, hal yang paling sering terjadi miskonsepsi, kaitannya dengan serangan di dunia teknologi yakni sering melawan-kan antara kenyamanan dan keamanan. Padahal, seharusnya dua hal itu menjadi satu kesatuan.
“Jadi dalam kenyamanan harus ada keamanan. Karena ketika keamanan dan kenyamanan adalah hal yang berlawanan maka orang malas untuk pencegahan. Karena merepotkan,” katanya.
“Pengambil kebijakan juga harus memahami Cyber security. SDM itu penting dan seharusnya bagian security itu sudah dilibatkan dalam perencanaan. Sayangnya di Indonesia dilibatkan pada titik pengoperasian,” katanya lagi.
Belakangan, marak wacana serangan teknologi. Bahkan, sejumlah ahli mengklaim serang teknologi dari waktu ke waktu semakin masif.
Untuk meminimalisirnya, perlu adanya perubahan pola pikir terkait resiko yang mungkin terjadi saat menggunakan teknologi.
Dosen IT senior Gunadarma I Made Wiryana menjelaskan, pada era 1990an serangan-serangan tersebut bisa dikatakan sangat minim.
“Makin lama makin besar. Ketika saya bermain internet tahun 90 an, namanya attack itu tidak banyak. Tapi semakin ke sini, ancaman itu semakin canggih dan makin beragam,” kata Made, yang juga Pakar Kompetensi Cyber Security dalam webinar ‘Cyber Security’ Teknovasi/Forum Teknologi Inovasi Jumat (9/6/2023).
Ancaman yang terjadi, sambungnya, dari mulai serangan fisik, sintetik, hingga semantik. Ancaman fisik, jelas dia, salah satunya menyadap saluran telepon atau radio, memutus dan mengarahkan ke saluran palsu.
“Ada sintatitk. Melakukan remote exploit DdoS,dan sebagainya. Lalu semantik, memanfaatkan serangan terhadap pemberitaan, misal hoax, defamation,” kata dia
Berbicara tentang cover security, jelas dia, tidak hanya fokus pada attack semata. Ditegaskannya, attack merupakan salah satu aspek dari aspek lainnya. “Aspek berikut nya adalah defensif. Bagaimana mempertahankan,” katanya lagi.
Lebih jauh dijelaskannya, hal yang paling sering terjadi miskonsepsi, kaitannya dengan serangan di dunia teknologi yakni sering melawan-kan antara kenyamanan dan keamanan. Padahal, seharusnya dua hal itu menjadi satu kesatuan.
“Jadi dalam kenyamanan harus ada keamanan. Karena ketika keamanan dan kenyamanan adalah hal yang berlawanan maka orang malas untuk pencegahan. Karena merepotkan,” katanya.
“Pengambil kebijakan juga harus memahami Cyber security. SDM itu penting dan seharusnya bagian security itu sudah dilibatkan dalam perencanaan. Sayangnya di Indonesia dilibatkan pada titik pengoperasian,” katanya lagi.