Miskonsepsi Terhadap Kecerdasan Buatan – Beragam tayangan dari film film ilmiah yang mengangkat cerita tentang Artificial Interlligence (Al), atau yang sering dikenal sebagai kecerdasan buatan, mengakibatkan timbulnya berbagai macam pemikiran dikalangan awam.
Keunggulan keunggulan serta kecanggihan kecanggihan yang dimiliki oleh kecerdasan buatan justru dinilai dapat mengancam peradaban serta menggeser peranan manusia dari kehidupan. Penilaian tersebut terbukti dengan munculnya mesin mesin yang menggantikan beberapa tenaga kerja manusia karena keunggulannya.
Selain itu, kecerdasan buatan yang digambarkan dalam film film tersebut dibuat seolah olah mampu bertindak layaknya manusia. Hal itu menimbulkan ketakutan, perasaan tidak percaya, dan pemikiran lain seperti tindahkan kecerdasan buatan yang suatu saat bisa merampas, menjajah, bahkan menguasai seluruh aspek kehidupan manusia. Akan tetapi, apakah hal tersebut benar benar bisa terjadi?
Untuk mengetahui apakah hal tersebut benar-benar bisa terjadi, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu kecerdasan buatan. Dengan pendekatan definisi acting rationally, kecerdasan buatan dapat diartikan sebagai suatu alat atau perangkat komputer yang memiliki kemampuan berpikir layaknya manusia dan kemampuan bertindak secara rasional berdasarkan penalaran yang logis.
Kecerdasan buatan memiliki empat teknik penyelesaian masalah, yaitu searching, reasoning, planning, dan learning. Teknik searching, reasoning, dan planning merupakan teknik yang tergolong sebagai teknik klasik, sedangkan teknik learning tergolong sebagai teknik modern karena merupakan teknik komputasi yang bisa membuat komputer belajar dan meningkatkan kecerdasannya secara otomatis tanpa harus diprogram secara manual.
Selain itu, kecerdasan buatan terbagi menjadi dua, yaitu kotak putih (white box) dan kotak hitam (black box). Yang membedakan di antara keduanya adalah kotak putih kecerdasan buatan memberikan transparansi terhadap sistem pengoperasiannya kepada pengguna, sedangkan kotak hitam adalah sistem yang beroperasi tanpa sepengetahuan pengguna.
Dari banyaknya perbedaan antara kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia, salah satu perbedaan yang paling mendasar adalah kecerdasan buatan tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri tanpa adanya perintah dari manusia. Hal ini dikarenakan kecerdasan buatan tidak memiliki tujuan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Tujuan tersebut akan kembali kepada manusia yang mempekerjakan kecerdasan buatan untuk kepentingannya karena kecerdasan buatan merupakan suatu alat untuk membantu manusia.
Apabila kecerdasan buatan melakukan tindakan yang menimbulkan dampak merugikan di lingkungan masyarakat, maka kerugian tersebut akan menjadi tanggung jawab dari manusia.
Salah satu contoh yang dikutip dari CNN Indonesia mengenai pertanggungjawaban manusia terhadap tindakan kecerdasan buatan adalah ketika PCWorld menemukan Bing AI Microsoft (salah satu bot pesan yang telah diperkenalkan sejak Februari 2023) mengajarkan penghinaan etnis kepada orang-orang sehingga pihak Microsoft pun bertanggung jawab memperbaiki kesalahan tersebut.
Apabila hal mengenai kecerdasan buatan dikaitkan dengan sudut pandang hukum, maka kecerdasan buatan tidak bisa dijadikan sebagai subjek hukum seperti manusia karena kecerdasan buatan tidak memiliki kemampuan dalam bertindak secara mandiri.
Kecerdasan buatan tidak bisa mempertanggungjawabkan tindakannya karena kecerdasan buatan hanyalah objek atau alat yang dijalankan dan dimanfaatkan oleh manusia. Hal itu menyebabkan segala pertanggungjawaban hukum yang berkaitan dengan tindakan kecerdasan buatan akan ditanggung oleh manusia.
Salah satu rumusan peraturan nasional yang semakin menegaskan bahwa kecerdasan buatan bukanlah subjek hukum adalah Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di dalam rumusan tersebut, dinyatakan bahwa penyelenggara sistem elektronik (manusia atau badan hukum) bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya.
Berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap kecerdasan buatan, sebuah data statistik dari KPMG Australia dan The University of Queensland menunjukkan hasil survei beberapa negara yang percaya dengan kecerdasan buatan.
Berdasarkan survei tersebut, India tercatat sebagai negara dengan penduduk terbanyak yang percaya terhadap kecerdasan buatan. Selain itu, data ini diperkuat dengan hasil survei dari McKinsey & Company yang mencatat India sebagai negara dengan perusahaan terbanyak yang menggunakan kecerdasan buatan.
Agar kecerdasan buatan bisa memperoleh kepercayaan publik, melalui sebuah dokumen yang berjudul “Strategi Nasional untuk Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045”, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh kecerdasan buatan.
Yang pertama, dalam setiap sistem dan pergerakan kecerdasan buatan terdapat intervensi dan pengawasan oleh manusia untuk mengawasi dampak-dampak yang timbul dari setiap pergerakan kecerdasan buatan.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam kecerdasan buatan adalah kekokohan dan keamanan teknis untuk mencegah risiko, meminimalisasi bahaya yang tidak disengaja dan tidak terduga, serta perlindungan terhadap kerentanan untuk mencegah kecerdasan buatan dari pemanfaatan yang menyimpang.
Berkaitan dengan pemberian jaminan atas privasi dan perlindungan data, kecerdasan buatan harus memiliki tata kelola data dan privasi yang disertai dengan protokol data untuk mengatur akses data. Selain itu, diperlukan pula transparansi terhadap setiap keputusan yang dibuat oleh kecerdasan buatan agar setiap keputusan tersebut mampu dilacak oleh manusia.
Berikutnya, pengembangan kecerdasan buatan wajib memperhatikan kesejahteraan sosial dan lingkungan untuk menjaga keharmonisan antara keberlangsungan lingkungan dengan pembangunan yang mencukupi kebutuhan dasar, serta untuk meningkatkan standar hidup masyarakat dan menciptakan ekosistem yang terlindungi.
Yang terakhir, kecerdasan buatan harus fokus pada keberagaman, adil, dan tidak diskriminasi dengan cara dirancang sedemikian rupa agar produk atau layanan kecerdasan buatan dapat digunakan oleh semua orang.
Setelah mengetahui tentang apa itu kecerdasan buatan, bagaimana perbedaannya dengan manusia, serta syarat-syarat apa saja yang perlu dimiliki oleh kecerdasan buatan, maka dapat diketahui bahwa kecerdasan buatan dapat memperoleh kepercayaan publik apabila terdapat intervensi atau campur tangan dari manusia dalam setiap sistem dan pergerakannya.
Penggunaan data-data oleh kecerdasan buatan perlu selalu diperbarui dan diawasi oleh manusia untuk menghindari kekeliruan dan pemanfaatan data yang tidak valid. Hal tersebut juga dapat menepis pemikiran yang timbul di kalangan awam mengenai kecerdasan buatan yang digambarkan pada tayangan film-film fiksi ilmiah.
Pemikiran ini dapat timbul karena film merupakan propaganda budaya yang dipercaya oleh masyarakat dan telah dianggap sebagai orientasi peradaban. Pemahaman tentang kecerdasan buatan yang bisa merebut kehidupan manusia menunjukkan adanya miskonsepsi di kalangan awam yang mengartikan kecerdasan buatan sebagai subjek.
Hal itu dikarenakan adanya anggapan tentang kecerdasan buatan yang bisa bertindak sesuka hati layaknya manusia. Konsep kecerdasan buatan sebagai objek adalah konsep kecerdasan buatan sebagai alat yang dijalankan dan dimanfaatkan oleh manusia.
Kecerdasan buatan dapat membantu manusia dengan mempermudah pekerjaan dan menghasilkan sesuatu secara efektif dan efisien sehingga kecerdasan buatan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang bisa dimanfaatkan dengan baik dan bijak.