Cerita Tangan Besi, Darah & Tangis di Kereta Cepat China

Cerita Tangan Besi, Darah & Tangis di Kereta Cepat China – Sejak abad ke 21, Ketika Serikat sibuk berperang, China lebih memilih lebih fokus berdagang dengan mitranya diseluruh dunia. Salah satu barang dagangan mereka adalah proyek kereta api cepat.

Lewat BUMN China Railway Internetional Group, Negeri Tirai Bambu menjajakan proyek kereta api cepat di berbagai negara. Dalam laman resminya, tercatat 17 negara yang sudah bekerja sama. Termasuk di dalamnya indonesia.

Di tanah air, China sangat berambisi mewujudkan kereta cepat sebagai yang pertama di Asia tenggara. Datang pada 2015, Kehadiran china dalam proyek kereta sangat megusik keberadaan jepang yang lebih dulu riset di indonesia.

Alhasil, keduanya ‘bertarung’ merebutkan proyek. Hingga akhirnya, Jokowi memilih China yang lebih banyak memberi keuntungan: harga lebih murah, hanya US$ 5,13 miliar atau Rp 76 triliun.

Banyak pihak mengkritisi keputusan tersebut. Sebab, seharusnya Indonesia memilih Jepang yang pengalamannya tak terkalahkan dalam membangun

Fakta ini memang tidak bisa dibantah. Dalam urusan kereta api China memang bisa dikatakan ketinggalan zaman. Sejarah perkereta apian China 12 Tahun lebih lamban dibanding Indonesia yang sudah hadir pada 1864.

Di sana, kereta baru ada pada 1876 dengan rute Shanghai-Wusing. Namun, keberadaan kereta api dianggap simbol kemunduran oleh pihak Kekaisaran.

Sebagaimana dipaparkan laman Rail Discoveries, kekaisaran yang konservatif memandang deru dan asap kereta sebagai perusak alam. Suaranya berisik, jejak rel kereta merusak lahan, dan asapnya mengotori lingkungan, sehingga mengganggu keberadaan ekonomi lokal dan keseimbangan feng shui negara.

Kekaisaran mengizinkan kereta beroperasi, tetapi dengan syarat nyeleneh. Yakni tidak boleh menggunakan uap, sehingga kereta harus ditarik oleh kasim atau pelayan.

Dengan budaya manut khas absolutisme kekaisaran, ketidaksukaan pemimpin terhadap kereta api kemudian berakar ke masyarakat. Hal ini terus diwariskan dan membuat perkembangan kereta mandek selama ratusan tahun.

Ketika negara tetangganya, Jepang, membangun kereta cepat pertama di dunia pada 1964 dan Eropa juga memilikinya pada 1981, Negeri Tirai Bambu tetap berpegang teguh bahwa kereta adalah simbol kemunduran.

Titik balik terjadi pada tahun 2003, ketika Liu Zhijun menjadi Menteri Perkeretaapian. Sejak dulu, Liu memandang bahwa kereta api adalah hal yang wajib dimiliki suatu negara.

Namun, karena kentalnya konservatisme, mimpi itu tak terwujud. Ketika menjadi menteri-lah dia berambisi menggenjot penambahan jalur kereta api, termasuk juga mengembangkan kereta cepat pertama di China, yang tertinggal dibanding negara lain.

Setelahnya kereta adalah harapan baru untuk menggantikan transportasi darat dan udara yang tak lagi memuaskan. Dalam tulisan The Development of High-Speed Rail in China (2022), pemerintah mengeluarkan uang lebih dari US$ 250 miliar untuk membangun kereta cepat sepanjang 12.000 kilometer.

Proyek dimulai pada 2004 dengan rute pertamanya Beijing-Fuzhou dan harus selesai tahun 2008.

Ketika pengerjaan dimulai, Liu menjadi mandor dan memerintah dengan tangan besi. Mengutip Evan Osnos dalam tulisan “Boss Rail” di majalah The New Yorker (2012), Liu pernah mengatakan “Untuk mencapai lompatan besar, satu generasi harus dikorbankan”.

Ini mengindikasikan kalau China tak selamanya mengikuti asas kemanusiaan untuk meraih pencapaian besar. Akibat omongan itu, para pekerja-lah yang menjadi korban.

Para teknisi dan kuli kasar bekerja siang dan malam dengan sift tanpa henti untuk memasang rel, menggali terowongan, dan merancang desain kereta. Bahkan teknisi bernama Xin Li mengalami kebutaan karena bekerja tanpa henti di depan komputer non-stop.

Liu Zhijun tak mengizinkannya berhenti bekerja, sehingga membuat Xin Li bekerja dengan satu mata. Sudah tak terhitung berapa banyak pekerja yang tumbang.

Kereta cepat yang dibangun dengan darah dan tangis pekerja itu selesai tepat waktu pada 2008. Ini tergolong sangat cepat untuk proyek berjarak 1.800 km, setara 2,5 kali bolak-balik Jakarta-Surabaya.

Saat uji coba, kereta sukses melaju kencang. Dari sini, paham simbol kemunduran telah luntur di benak masyarakat China. Namun, tak lama berselang bencana pun datang.

Tiga tahun setelahnya, terjadi kecelakaan kereta cepat terdahsyat di dunia. Dua kereta cepat China, D301 dan D3115 bertabrakan dengan kecepatan tinggi.

Tercatat 40 tewas dan 192 orang luka berat. Dalam paparan Hong Yu berjudul “Railway Sector Reform in China: controversy and problems” (2015), hasil investigasi menunjukkan kalau penyebab kecelakaan akibat kegagalan sinyal yang dibuat dengan kualitas buruk.

Jika ditarik lagi, kegagalan itu disebabkan oleh pengerjaan yang terburu-buru ditambah kelelahan pekerja. Mimpi besar mengabaikan kualitas dan berakibat fatal.

Sejak kecelakaan itu, diketahui pula kalau Sang Mandor merampok uang proyek kereta cepat. Ketika bawahannya berdarah-darah dipecut kerja, Liu malah asyik bermain dengan uang negara. Alhasil, pada 2013 dia dijatuhi hukuman mati.

Kejadian itu juga membongkar borok pemerintah China yang selama ini ditutupi. Masih mengutip riset Hong Yu, terungkap kalau

pengembangan kereta api di China penuh dosa.

Korupsi dan kerja melebihi batas waktu menjadi masalah. Ini tentu jadi ironi karena China menjual proyek kereta api dengan penuh rasa bangga, sementara di dalamnya negerinya masih bobrok.

Scroll to Top