Bubarkan Demonstran Anti-Lockdown COVID-19, Polisi China Pakai Teknologi Canggih – Polisi China telah mengerahkan alat pengawasan canggih untuk membasmi gelombang kerusuhan nasional. Mereka menggunakan perangkat lunak pengenal wajah dan data lokasi untuk melacak dan menahan pengunjuk rasa.
Dilansir Channel News Asia, Kamis (1/12/2022), frustasi atas pembatasan COVID-19 yang berkepanjangan telah memuncak, memicu protes yang menuntun diakhirnya lockdown dan kebebasan politik yang lebih besar pada skala yang tidak terlihat dalam beberapa dekade.
Ketika Beijing mengumumkan tindakan keras terhadap protes, aparat keamananya yang b esar bersiap, menggunakan pengawasan canggih untuk melacak aktivis, menurut seorang pengacara hak asasi manusia yang menawarkan nasihat hukum gratis kepada pengunjuk rasa.
“Di beijing, Shanghai dan Guangzhou, polisi tampaknya menggunakan metode yang sangat canggih,” kata Wang Shengsheng, seorang pengacara yang berbasis dikota Zhengzhou.
“Dikota kota lain, sepertinya mereka mengandalkan rekaman pengawasan dan pengenalan wajah,” katanya kepada AFP.
Polisi Beijing mungkin telah menggunakan data lokasi telepon baik yang diambil dari pemindai di tempat atau kode kesehatan COVID-19 yang dipindai oleh orang-orang yang naik taksi ke daerah tempat protes terjadi, katanya.
“Banyak penelepon dari Beijing bingung mengapa mereka dihubungi oleh polisi ketika mereka benar-benar berjalan melewati lokasi protes dan tidak ambil bagian,” tambahnya.
Ratusan demonstran dan polisi bentrok di Shanghai untuk memprotes pembatasan ketat COVID-19 di China. Aksi demonstrasi menentang penguncian telah berlangsung hingga hari ketiga dan menyebar ke beberapa kota lain. Demonstrasi terjadi setelah 10 orang tewas dalam kebakaran di Urumqi, ibu kota wilayah barat di Xinjiang, yang ditudingkan oleh pengunjuk rasa sebagai penyebab penguncian COVID-19 yang berlarut-larut.
Kematian berbuah menjadi frustrasi atas komitmen teguh Beijing terhadap nol-COVID dan kombinasi dari penguncian yang ketat, pengujian massal dan pelacakan yang terus menghambat kehidupan masyarakat China selama tiga tahun, setelah kasus pertama dari virus corona terdeteksi di pusat kota Wuhan.
“Saya di sini karena saya mencintai negara saya, tetapi saya tidak mencintai pemerintah saya. Saya ingin keluar dengan bebas, tetapi saya tidak bisa. Kebijakan COVID-19 kami adalah permainan, dan tidak didasarkan pada sains atau kenyataan,” kata pengunjuk rasa Shaun Xiao, dikutip dari Al Jazeera, Senin, 28 November 2022.
Ratusan orang berkumpul pada Minggu malam, 27 November 2022, di kota itu, dan lembaran-lembaran kertas kosong sebagai ekspresi penyensoran protes diangkat ke udara, ketika polisi berjaga di Jalan Wulumuqi, Urumqi. Seorang saksi mata mengatakan bahwa dia melihat polisi mengawal orang-orang ke sebuah bus, yang kemudian dibawa pergi melalui kerumunan dengan beberapa belas orang di dalamnya.
Seorang reporter BBC yang meliput protes juga diserang dan ditahan selama beberapa jam, kata penyiar publik Inggris. “BBC sangat prihatin dengan perlakuan jurnalis kami Ed Lawrence, yang ditangkap dan diborgol saat meliput protes di Shanghai,” kata seorang juru bicara dalam sebuah pernyataan.
Para pengunjuk rasa juga turun ke jalan-jalan di Wuhan dan Chengdu pada hari Minggu. Mahasiswa di berbagai kampus universitas di seluruh China berkumpul untuk berdemonstrasi selama akhir pekan.
Pada Senin dini hari, di Beijing, dua kelompok pengunjuk rasa yang berjumlah setidaknya 1.000 orang berkumpul di sepanjang Jalan Lingkar Ketiga ibukota China, di dekat Sungai Liangma dan menolak untuk bubar. “Kami tidak ingin pembatasan, kami ingin kebebasan. Kami tidak ingin tes COVID, kami ingin kebebasan,” teriak mereka.
Kebakaran hari Kamis di Urumqi diikuti oleh massa yang turun ke jalanan kota pada Jumat malam, 26 November 2022, dan meneriakkan, “Akhiri penguncian!”. Mereka juga terlihat mengepalkan tangan mereka ke udara, menurut video yang belum diverifikasi di media sosial.
Pihak berwenang China mulai menyelidiki beberapa orang yang terlibat dalam demonstrasi besar-besaran menentang pembatasan Covid-19.
Tiga orang sumber yang berada di lokasi demonstrasi mengatakan hal itu terlihat dari kehadiran polisi yang tetap masih memenuhi jalan-jalan kota.
Dalam satu kasus, seorang penelepon yang mengidentifikasi sebagai petugas polisi di Beijing meminta pengunjuk rasa untuk datang ke kantor polisi pada Selasa (29/11/2022) untuk menyampaikan catatan tertulis tentang kegiatan mereka pada Minggu malam.
Di kasus lain, seorang siswa dihubungi oleh perguruan tinggi mereka dan ditanya apakah mereka pernah berada di area tempat acara berlangsung dan untuk memberikan laporan tertulis.
“Kami semua mati-matian menghapus riwayat obrolan kami,” kata seorang pengunjuk rasa Beijing yang menolak disebutkan namanya, kepada Reuters.
“Polisi terlalu banyak. Polisi datang untuk memeriksa KTP salah satu teman saya dan kemudian membawanya pergi. Kami tidak tahu kenapa. Beberapa jam kemudian mereka melepaskannya.”
Ketidakpuasan terhadap kebijakan pencegahan Covid yang disebut strategi nol-Covid 3 tahun setelah pandemi memicu protes yang lebih luas di kota-kota yang terpisah ribuan mil selama akhir pekan.
Gelombang pembangkangan sipil terbesar di China sejak Xi Jinping berkuasa satu dekade lalu datang seiring dengan jumlah kasus Covid yang mencapai rekor tertinggi setiap hari dan sebagian besar kota menghadapi penguncian baru.
Covid di China terus menyebar meskipun sebagian besar dari 1,4 miliar penduduknya berupaya mencegah penularan dengan mematuhi kebijakan nol-Covid untuk memberantas semua wabah dan mempertahankan kontrol perbatasan yang ketat.
Penguncian telah memperburuk salah satu perlambatan paling tajam dalam pertumbuhan ekonomi yang dialami China dalam beberapa dekade, mengganggu rantai pasokan global, dan dan menimbulkan gejolak di pasar keuangan.
Di Hangzhou, ibu kota provinsi timur Zhejiang, video yang viral di media sosial menunjukkan ratusan polisi menduduki lapangan besar pada Senin malam, mencegah orang berkumpul.
Satu video menunjukkan polisi, dikelilingi oleh sekelompok kecil orang yang memegang telepon genggam, melakukan penangkapan sementara yang lain berusaha menarik kembali orang yang ditahan.
Di Shanghai dan Beijing, polisi berpatroli di daerah tempat beberapa grup di layanan pesan Telegram menyarankan untuk berkumpul lagi. Kehadiran polisi pada Senin sore dan malam memastikan tidak ada pertemuan yang terjadi.
“Jumlah polisi yang banyak, sungguh menakutkan,” kata penduduk Beijing Philip Qi.
Penduduk mengatakan polisi telah meminta telepon kepada orang-orang yang melewati daerah itu untuk memeriksa apakah mereka memiliki jaringan pribadi virtual (VPN) dan aplikasi Telegram, yang telah digunakan oleh pengunjuk rasa.
Adapun, VPN ilegal bagi kebanyakan orang di China, sedangkan aplikasi Telegram diblokir dari internet China.
Sementara itu, satu bus penuh demonstran terpantau dibawa pergi oleh polisi selama protes Minggu malam di Shanghai.