BMKG : Teknologi Canggih Tidak Berguna Jika Masyarakat Tidak Siap Hadapi Tsunami – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita mengatakan teknologi secanggih apapun tidak akan berguna jika masyarakat tidak siap dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana tsunami yang kemungkinan akan terjadi.
“Semua teknologi, super komputer yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap. Aspek kultur ini adalah masyarakat dan pemda,” kata Dwikorita saat membuka webinar dalam rangka peringatan Hari kesadaran Tsunami Dunia yang dipantau di Jakarta, Jumat (13/11/2020).
Dalam webinar Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang diperingati setiap 5 November itu, Dwikorita mengatakan aspek kultur, yaitu pemerintah daerah dan masyarakat sebagai ujung tombak menjadi tantangan dalam kesiapsiagaan bencana.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan masyarakat agar tetap waspada terhadap ancaman bencana tsunami. Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati teknologi secanggih apapun tidak akan berguna jika masyarakat tidak siap dalam mengantisipasi dan menghadapi termasuk tsunami.
“Semua teknologi, super komputer yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia-sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap. Aspek kultur ini adalah masyarakat dan pemda,” kata Dwikorita, Jum’at 13 November 2020 seperti dikutip prfmnews.id dari ANTARA.
Ia melanjutkan pemerintah daerah dan masyarakat adalah dalam kesiapsiagaan bencana. Apabila masyarakat dan pemda di daerah rawan bencana tsunami tidak memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara sirine peringatan dini tsunami, teknologi yang sudah disiapkan tidak akan berguna.
Sementara itu, peneliti Unesco Indonesia Ardito M Kodijat mengatakan banyak pembelajaran dari kejadian tsunami yang lalu bahwa sistem peringatan dini tsunami yang canggih tidak akan menyelamatkan nyawa jika masyarakat berisiko tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk merespons peringatan dini tersebut.
Menurutnya, selama ini sistem peringatan dini terfokus pada peningkatan teknologi, tapi perlu juga fokus pada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami.
“Kalau kita punya sistem yang sangat canggih, saat ini bisa mengeluarkan peringatan dini dalam waktu yang sangat singkat kurang dari empat menit, tapi kalau masyarakatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan, sistem peringatan dini itu tidak menjamin keselamatan,”
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan teknologi secanggih apapun tidak akan berguna jika masyarakat tidak siap dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana tsunami yang kemungkinan akan terjadi.
“Semua teknologi, super komputer yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia-sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap. Aspek kultur ini adalah masyarakat dan pemda,” kata Dwikorita saat membuka webinar dalam rangka peringatan Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang dipantau di Jakarta dilansir Antara, Jumat (13/11).
Dalam webinar Hari Kesadaran Tsunami Dunia yang diperingati setiap 5 November itu, Dwikorita mengatakan aspek kultur, yaitu pemerintah daerah dan masyarakat sebagai ujung tombak menjadi tantangan dalam kesiapsiagaan bencana.
Menurut dia, apabila masyarakat dan pemda di daerah rawan bencana tsunami tidak memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara sirine peringatan dini tsunami, teknologi yang sudah disiapkan tidak akan berguna.
BMKG telah membangun sistem peringatan dini tsunami, yaitu Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah beroperasi sejak 2008.
Hal senada disampaikan narasumber webinar dari Unesco Indonesia Ardito M Kodijat. Ardito mengatakan banyak pembelajaran dari kejadian tsunami yang lalu bahwa sistem peringatan dini tsunami yang canggih tidak akan menyelamatkan nyawa jika masyarakat berisiko tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk merespons peringatan dini tersebut.
“Kalau kita punya sistem yang sangat canggih, saat ini bisa mengeluarkan peringatan dini dalam waktu yang sangat singkat kurang dari empat menit, tapi kalau masyarakatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan, sistem peringatan dini itu tidak menjamin keselamatan,” ujar Ardito.
Dia mengatakan dalam keadaan darurat tsunami, risiko kehilangan nyawa dan harta benda masyarakat pesisir dengan tingkat kesiapan rendah atau tidak ada sangat tinggi. Selain itu, rantai peringatan yang lemah atau terputus, sehingga informasi tidak sampai ke masyarakat juga tidak ada arahan untuk masyarakat mengevakuasi diri.
Hal itu bisa karena ketidaksiapan SDM, prosedur atau masalah teknologi. Menurut dia, selama ini sistem peringatan dini terfokus pada peningkatan teknologi, tapi perlu juga fokus pada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami.
Menurut dia, apabila masyarakat dan pemda di daerah rawan bencana tsunami tidak memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara sirine peringatan dini tsunami, teknologi yang sudah disiapkan tidak akan berguna.
BMKG telah membangun sistem peringatan dini tsunami, yaitu Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah beroperasi sejak 2008.
Hal senada disampaikan narasumber webinar dari Unesco Indonesia Ardito M Kodijat. Ardito mengatakan banyak pembelajaran dari kejadian tsunami yang lalu bahwa sistem peringatan dini tsunami yang canggih tidak akan menyelamatkan nyawa jika masyarakat berisiko tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk merespons peringatan dini tersebut.
“Kalau kita punya sistem yang sangat canggih, saat ini bisa mengeluarkan peringatan dini dalam waktu yang sangat singkat kurang dari empat menit, tapi kalau masyarakatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan, sistem peringatan dini itu tidak menjamin keselamatan,” ujar Ardito.