Baru 30 Persen Petani Melek Teknologi – Pandemi Covid-19 ternyata betul betul memberikan dampak lain dari sisi adopsi teknologi salah satunya disektor pertanian. CEO Crowde, Yohanes Sugihtononugroho mengatakan, sebelumn ada pandemi banyak dari petani kurang tertarik mengadopsi teknologi. Kala itu, tidak ada alasan yang kuat untuk menerapkan teknologi.
“Pandemi jadi ada alasan untuk mereka melakukan transformasi digital. Mereka yang dulunya mikir tidak perlu teknologi, tetapi setelah ada Covid-19, mereka akhirnya mau tidak mau harus mengadopsi teknologi. Pada akhirnya, mereka ada alasan untuk mengadopsi teknologi,” kata Yohanes saat ditemui diacara Digitalisasi Nusantara yang digagas Kadin Indonesia, Yayasan Internet Indonesia, dan Pemerintah Kota Surakarta di Edutorium UMS, Solo, Rabu (30/3)
Sejauh ini, lanjut Yohanes, belum ada 50 persen petani di Indonesia yang melek teknologi. Namun ada pertumbuhan ketika pandemi hadir di Indonesia.
“Saat ini kira-kira mencapai 30 persen petani melek teknologi,” kata dia.
Sebelumnya pada masa awal pandemi, jika melihat data dari riset yang dilakukan DSInnovate dan Crowde 2020 bertajuk ‘Driving the Growth of Agriculture Technology Ecosystem in Indonesia’menyebutkan dari 33,4 juta petani di Indonesia, hanya 4,5 juta yang sudah mengadopsi teknologi. Masih ada 28,9 juta petani yang belum melek teknologi.
Oleh sebab itu, tantangan terberat agar petani mau melek teknologi adalah edukasi. Edukasi ini juga harus diikuti alasan yang kuat. Seperti memberikan alasan bahwa jika menggunakan teknologi, maka petani mendapatkan akses yang lebih menguntungkan yang pada ujungnya membuat hidup petani lebih sejahtera.
“Jadi kita harus memiliki alasan kenapa mereka harus menggunakan teknologi seperti akses kepada permodalan, pupuk dan bibit yang lebih baik, dan pendampingan penjualan, jadi membuat hidup mereka itu lebih baik,” jelasnya.
Pandemi Covid-19 ternyata betul-betul memberikan dampak lain dari sisi adopsi teknologi salah satunya di sektor pertanian. CEO Crowde, Yohanes Sugihtononugroho mengatakan, sebelum ada pandemi banyak dari petani kurang tertarik mengadopsi teknologi. Kala itu, tidak ada alasan yang kuat untuk menerapkan teknologi.
“Pandemi jadi ada alasan untuk mereka melakukan transformasi digital. Mereka yang dulunya mikir gak perlu teknologi, tetapi setelah ada Covid-19, mereka akhirnya mau tidak mau harus mengadopsi teknologi. Pada akhirnya, mereka ada alasanlah untuk mengadopsi teknologi,” kata Yohanes saat ditemui di acara Digitalisasi Nusantara yang digagas Kadin Indonesia, Yayasan Internet Indonesia, dan Pemerintah Kota Surakarta di Edutorium UMS, Solo, Rabu (30/3).
Sejauh ini, lanjut Yohanes, belum ada 50 persen petani di Indonesia yang melek teknologi. Namun ada pertumbuhan ketika pandemi hadir di Indonesia.
“Saat ini kira-kira mencapai 30 persen petani melek teknologi,” kata dia.
Oleh sebab itu, tantangan terberat agar petani mau melek teknologi adalah edukasi. Edukasi ini juga harus diikuti alasan yang kuat. Seperti memberikan alasan bahwa jika menggunakan teknologi, maka petani mendapatkan akses yang lebih menguntungkan yang pada ujungnya membuat hidup petani lebih sejahtera.
“Jadi kita harus memiliki alasan kenapa mereka harus menggunakan teknologi seperti akses kepada permodalan, pupuk dan bibit yang lebih baik, dan pendampingan penjualan, jadi membuat hidup mereka itu lebih baik,” jelasnya.
Ancaman krisis pangan membuat usaha mendongkrak produktivitas sektor pertanian melalui inovasi teknologi makin urgen. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan partisipasi generasi muda, yakni kelompok milenial dan generasi Z, yang dinilai lebih melek teknologi, untuk terjun ke sektor pertanian.
Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies, Arisyi Raz, berpendapat, sektor pertanian membutuhkan partisipasi pemuda yang lebih besar agar bisa terus tumbuh. Peluang pasar masih terbuka, sementara petani perlu regenerasi.
Akan tetapi, pelaku di sektor ini masih menghadapi kendala, seperti adopsi teknologi yang belum optimal dan akses permodalan yang terbatas. ”Sektor pertanian di Indonesia masih sangat tradisional dan informalitasnya masih cukup besar,” ujarnya dalam seminar yang digelar Indonesian Banking School di Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Pola pertanian yang masih tradisional dinilai tidak menarik minat pemuda. Mereka kini lebih tertarik bekerja di sektor jasa yang lebih menitikberatkan pada teknologi. Oleh karena itu, menurut Arisyi, pertanian Indonesia perlu didorong ke arah pemanfaatan teknologi yang lebih canggih.
Tak hanya menarik pemuda, penerapan teknologi diperlukan agar produktivitas pertanian bisa ditingkatkan di tengah ancaman krisis iklim yang dapat mengganggu rantai pasok pangan nasional dan global.
Menurut dia, sebetulnya sudah cukup banyak pemuda memanfaatkan teknologi di ”sektor pertanian”, tetapi mereka banyak berfokus di sisi permintaan (demand), salah satunya pemasaran produk pertanian dan turunannya (downstreaming). Hal ini terlihat dari tumbuhnya usaha rintisan di bidang tersebut, seperti Sayurbox dan Tanihub.
Pelibatan pemuda di sektor pertanian juga harus ditingkatkan di sisi pasokan (supply) karena jumlah pemuda yang bekerja di sektor ini terus turun. Penurunan ini dapat mengganggu upaya Indonesia mewujudkan ketahanan pangan di tengah krisis iklim.
Selain itu, rendahnya kontribusi pemuda terhadap pertanian membuat sektor ini akan semakin ditinggalkan sehingga produktivitasnya berpotensi menurun. Hal itu membuat ketergantungan pada komoditas pangan dari negara lain akan semakin tinggi. Padahal, membangun pertanian yang mandiri di dalam negeri diperlukan untuk memitigasi dampak ancaman krisis pangan global.