Atasi Resesi Seks, Jepang Beri Layanan Biro Jodoh dengan Teknologi Al – Pemerintah Jepang sudah menyatakan rendahnya tingkat kelahiran anak sudah sampai ke tahap darurat. Berdasarkan data resmi, tingkat kelahiran bayi pada 2022 menjai yang terendah sepanjang sejarah yakni 800 ribu jiwa.
Maka, Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan bakal mengambil langkah secepatnya agar bisa membalikan keadaan dan mencegah hal tersebut berdampak kesektor ekonomi. Lantaran kekurangan populasi baru, maka kini rata rata usia penduduk di Negeri Sakura mencapai 49 tahun. Temuan itu menempatkan Jepang dengan piramida penduduk tua tertinggi kedua di dunia setelah Monaco.
“Bangsa kita berada di titik puncak apakah masih dapat mempertahankan fungsi sosialnya,” ungkap Kishida di hadapan anggota parlemen saat pembukaan parlemen pada akhir bulan Januari dan di kutip dari stasiun berita BBC.
“Soal kebijakan melahirkan dan membesarkan anak, maka kebijakan ini harus diambil sekarang atau tidak sama sekali. Isu ini tidak bisa lagi didiamkan,” tutur dia lagi.
Untuk mendongkrak lebih banyak kelahiran anak baru, Pemerintah Negeri Sakura terus mengiming-imingi pasangan mudanya dengan bonus finansial dan pendapatan yang lebih baik. Namun, janji-janji itu tetap tidak ampuh membujuk pasangan muda. Sebab, menurut sejumlah survei, Jepang menjadi salah satu negara yang paling mahal di dunia untuk membesarkan seorang anak.
Lalu, apa strategi pemerintah agar tidak terjadi penurunan populasi anak muda di Jepang?
1. Layanan biro jodoh dengan teknologi AI disediakan pemerintah daerah
Salah satu cara yang dicoba oleh Pemda Miyagi yakni dengan menyediakan layanan biro jodoh yang dilengkapi teknologi kecerdasan buatan (AI). Layanan itu dimodali menggunakan dana pemerintah.
Sedangkan di daerah barat daya Jepang, Ehime, pemda menawarkan layanan biro jodoh menggunakan big data yang lebih besar untuk menemukan pasangan yang cocok. Di daerah Miyazaki, perjodohan dilakukan secara analog.
Salah satu caranya dengan membiarkan pasangan saling berkirim surat. Surat yang mereka kirim harus dalam bentuk tulisan tangan.
Bahkan, di Tokyo, ada sejumlah layanan yang menawarkan seminar soal kemampuan dasar saat berkencan. Salah satunya, bagaimana cara memulai percakapan. Meski mereka membocorkan salah satu tipsnya yakni jangan terlalu banyak mengenai diri sendiri.
Di sisi lain, para juru foto menawarkan jasanya secara gratis untuk mengabadikan foto diri yang ciamik untuk menggaet jodoh. Adapula penata gaya dan make up artist yang ikut menawarkan layanan untuk mendadani klien agar kencan bisa berlangsung sukses.
2. Pemerintah bakal bentuk badan khusus untuk atasi krisis kelahiran pada April 2023
Selain menyediakan layanan biro jodoh dan kencan, pemerintah akan meluncurkan Badan Anak dan Keluarga pada April 2023. Badan ini dirancang untuk mendukung orang tua dan memastikan keberlanjutan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu.
Kishida menambahkan pemerintah ingin menggandakan pengeluaran untuk program-program terkait anak. “Kita harus membangun ekonomi sosial yang mengutamakan anak untuk membalikkan angka kelahiran (yang rendah),” katanya.
Juru bicara kabinet, Yoki Nomura, mengatakan pada dasarnya badan tersebut akan mengerahkan lebih banyak SDM untuk membantu merealisasikan program yang telah dibuat oleh pemda. Selain itu, mereka diharapkan bisa membuat program baru untuk mendongkrak tingkat kelahiran.
“Pemerintah pusat akan menanggung 75 persen biaya untuk petugas yang sekarang direkrut, baik itu individu yang bekerja di sektor publik atau swasta dengan keahlian perjodohan,” ungkap Nomura.
3. Cara yang ampuh untuk tingkatkan kelahiran yakni dengan hapus stigma laki-laki sebagai pencari nafkah
Sementara, menurut sejumlah ahli, iming-iming bonus finansial saja tidak akan ampuh untuk mendorong para pemuda menikah dan memiliki anak. Justru, salah satu cara yang ampuh yakni pemerintah menghapus stigma dan kebijakan yang mendukung persepsi bahwa hanya laki-laki sebagai pencari nafkah di dalam keluarga.
Dalam penelitian Sosiolog Harvard, Mary Brinton, perempuan Jepang waktu lima kali lebih panjang dibandingkan laki-laki hanya untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga seolah-olah menjadi bagian kedua yang harus dikerjakan oleh para perempuan di Negeri Sakura. Hal tersebut menyebabkan perempuan enggan memiliki lebih dari satu anak.
“Negara-negara pasca-industri (seperti Swedia) yang mengakomodir keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga justru tak mengalami penurunan angka kelahiran yang besar,” ujar Brinton seperti dikutip dari laman CBS News pada Sabtu, (25/2/2023).
Sementara, dalam pandangan Sosiolog dari Universitas Chuo, Masahiro Yamada, kebijakan yang mendorong perjodohan tak bakal ampuh bagi pasangan muda. Sehingga, pada akhirnya pasangan muda tetap enggan untuk menikah.
“Ini bukan masalah perjodohan tetapi masalah lebih banyak pria dengan pendapatan yang tidak stabil,” kata Yamada.
Bahkan, di antara para pekerja yang telah mendapatkan penghasilan tetap, nominalnya relatif mengalami penurunan. “Maka, terlihat lebih baik (melajang) dan tetap tinggal bersama orang tua mereka dibandingkan menikah,” tutur dia lagi.