America Serikat bentuk pokja selidiki dampak Al – America Serikat akan membentuk kelompok kerja khusus yang bertugas untuk menyelidiki lebih dalam mengenai kegunaan teknologi kecerdasan buatan (Al) sekaligus mengembangkan panduan untuk menangkal risiko pemanfaatannya.
National Institute of Standards and Technology (NST), sebuah lembaga non-regulasi yang berada di bawah naungan Departemen Perdagangan America Serikat, mengungkapkan kelompok kerja tersebut akan beranggotakan para pakar bidang terkait yang berasal dari sektor publik maupun swasta.
“Kelompok baru ini sangat tepat waktu mengingat kecepatan, skala, dan potensi dampak Al yang belum pernah terjadi sebelumnya dan potensinya untuk merevolusi banyak industri dan masyarakat secara lebih luas,” kata Direktur NIST Laurie Lccascio .
slamofobia tak hanya bertahan, tapi cenderung meningkat di Amerika Serikat sejak awal millennium baru yang terus berlanjut, khususnya pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Bisa diduga peningkatan Islamofobia itu membuat kaum Muslim Amerika menjadi sasaran diskriminasi yang terus meningkat.
Simaklah berita berikut: “Sebuah jajak pendapat yang dilakukan The Hill-HarrisX mengungkapkan, orang Islam menghadapi lebih banyak diskriminasi dari pada kelompok agama-agama lain di AS. Survei yang terbit pekan lalu menemukan bahwa sebanyak 85 persen responden meyakini Muslim menghadapi diskriminasi.”(Republika.co.id, 11 Maret 2019)
Gejala yang sama juga tercermin dalam survei yang diselenggarakan Institute for Social Policy and Understanding (ISPU) Washington D.C. dalam survei berjudul American Muslim Poll 2018: Pride and Prajudice-Featuring the First-Ever National American Islamophobia Index, ISPU Menyuguhkan sejumlah temuan penting disimak.
Pertama, ISPU juga menemukan peningkatan Islamofobia di kalangan warga AS. Dalam skala 0-100 (0 paling rendah tingkat Islamofobianya), indeks Islamofobia mencapai 17- skor yang cukup tinggi dibandingkan sikap anti terhadap kelompok agama-agama lain. Memang masih ada komunitas lain yang juga mengalami fobia semacam umat Yahudi, tetapi persentase tingkat Judeofobia jauh lebih rendah dibandingkan Islamofobia.
Relatif tingginya Islamofobia terkait erat dengan kalangan warga Amerika yang mendukung persepsi stereotipikal yang berkembang di kalangan masyarakat: bahwa Muslim gemar mempraktikkan kekerasan atau misogini; bahwa Muslim agresif terhadap negara AS; bahwa muslim memperlihatkan gejala dehumanisasi (atau kurang civilized) atau bahwa kaum Muslimin secara keseluruhan bertanggung jawab atas kekerasan individu Muslim.
Semua persepsi stereotipikal ini selanjutnya menjadi dasar bagi tindakan atau kebijakan diskriminatif terhadap kaum Muslim dan Muslimah. Menurut survei ISPU, 61 persen Muslim/Muslimah mengakui merasakan dan pernah mengalami diskriminasi dari kelompok warga Amerika lain atau petugas/pejabat pemerintah. Lazimnya yang menjadi sasaran diskriminasi adalah Muslimah keturunan Arab, dan anak muda Muslim.
Fenomena diskriminasi yang dihadapi kaum Muslim AS memperpanjang ‘tradisi diskriminasi’ dalam sejarah Amerika walau juga terjadi perubahan. Pada masa silam yang belum terlalu lama, diskriminasi terutama dialami orang-orang atau komunitas hitam (the black). Meski keadaannya lebih baik, warga kulit hitam masih merasakan berbagai bentuk diskriminasi subtil.
Dalam perkembangan selanjutnya, komunitas Hispanik atau Latino menjadi korban diskriminasi. Dan pada masa lebih kontemporer subjek diskriminasi bertambah, yaitu kaum Muslim. Diskriminasi terhadap kaum Muslim Amerika meningkat berbarengan dengan tumbuhnya Islamofobia di banyak kalangan mayoritas Protestan pasca- peristiwa 11 September (9/11/2001)- serangan terhadap World Trade Center di New York City dan markas Pentagon di kawasan Washington DC.
Fenomena Islamofobia jelas kian meningkat sejak masa pemerintahan Trump (dilantik pada tanggal 20 januari 2017). Sejak masa kampanye sebelumnya, Trump telah menunjukkan sikap anti-Islam dan anti-Muslim; termasuk larangan masuk Amerika bagi tujuh negara Muslim.
Namun, sikap Islamofobia dan anti-Muslim Trump mendapat perlawanan dari kalangan warga Amerika lain (non-Muslim); mereka melakukan aksi di sejumlah bandara di AS menentang ‘executive order’ Trump yang melarang masuknya pendatang dari tujuh negara penduduk mayoritas Muslim.
Dengan begitu, kaum Muslimin tidak sendiri dalam menghadapi Islamofobia. Oleh karena itu pula, mereka tidak merasa gentar dan goyah menghadapi Islamofobia dan sikap anti-Islam.
Sekali lagi mengutip pertemuan ISPU, 91 persen Muslim merasa bangga dan bahagia dengan keimanan-keislaman mereka. Dan pada saat yang sama, mereka juga menilai tinggi identitas Amerika.
Terkait dengan itu, mayoritas Muslim Amerika meyakini bahwa keislaman mereka adalah aset bukan liabilitas dalam kehidupan mereka di AS. Sekali lagi Islam bagi mereka adalah sumber ketenangan dan kebahagiaan psikologis.
Perkembangan terakhir kaum Muslimin Amerika memperlihatkan, banyaknya tantangan yang mereka hadapi, terutama terkait dengan sikap anti-Islam dan Muslim di bagian kalangan warga AS. Tetapi juga jelas berbagai tantangan itu tidak melunturkan identitas keimanan dan keislaman. Ini memberikan harapan bagi perkembangan Islam lebih lanjut di negara ini.
Keren juga America Serikat ya guys bisa bentuk pokja. Bagaimana menurut anda guys? Tolong beri komentar anda dibawah ini. Agar mendapatkan cerita cerita menarik dai saya..
Makasih atas komentar komentar anda guys. Semoga bermanfaat bagi Anda semuanya.