Kemajuan Teknologi dan Ironi Kekinian Remaja di Indonesia

Kemajuan Teknologi dan Ironi Kekinian Remaja di Indonesia – Peringatan Hari Remaja Internasional yang diperingati setiap 12 Agustus dapat menjadi refleksi, untuk memperbaiki permasalahan remaja di Tanah Air. Karena kemajuan teknologi yang begitu pesat memberikan efek positif sekaligus negatif.

Namun kebanyakan dari mereka lebih cenderung terkurung dalam ruang ruang semu, lantaran tidak dapat memanfaatkan teknologi tersebut dengan baik.

Lantas, apa saja permasalahan remaja atau kalangan millennials sekarang ini?

1. Fenomena dikalangan remaja saat ini

Peneliti Sosial Vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menangkap fenomena serupa yang disebutnya RAPUH : Radikalisme, Adiksi, Perundungan, Ukuran sosial, dan Harga diri.

“Radikalisme kita tahu bahwa tantangan terbesar dari remaja adalah mereka terpapar berbagai aliran, yang kemudian membuat mereka memiliki perilaku dan aktivitas yang radikal,” kata Devie saat dihubungi IDN Times, Senin (12/8).

2. Adiksi terhadap gawai jadi faktor utama remaja terpapar paham radikal

Devie menjelaskan, salah satu faktor utama remaja terpapar radikalisme adalah karena adiksi terhadap gawainya, di mana informasi terus berdatangan. Termasuk, hoaks atau berita bohong yang kemudian tidak dicari tahu kebenarannya.

“Ketiga perundungan, karena memang mereka tidak diajarkan etika, jangan kan etika di dunia online, di dunia offline saja karena pola asuh yang bergeser itu membuat mereka jadi tidak tahu bagaimana etika berhubungan sosial. Ini menyebabkan perundungan semakin marak yang menyebabkan kematian, karena anak-anak banyak yang melakukan bunuh diri,” kata dia.

3. Harga diri yang tinggi membuat remaja tidak bisa memposisikan dirinya sendiri

Selain itu, kata Devi, ukuran sosial juga jadi pengaruh buruk bagi remaja, karena tidak bisa membatasi diri dengan realita yang ada. Ada harga diri tinggi yang membuat mereka merasa ingin lebih dihargai.

“Berdasarkan studi kami di vokasi, mereka punya harga diri yang tinggi, jadi tidak heran kalau beberapa waktu lalu ada kasus dia (remaja) tidak pantas digaji Rp8 juta. Anak sekarang karena menganggap dirinya terlalu tinggi, karena mereka sibuk dengan gadget-nya tadi. Sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan orang lain, membandingkan dengan orang lain untuk melihat bahwa posisi anda sebenarnya di mana,” papar dia.

4. Pemerintah harus memberikan kurikulum belajar, baik di dunia nyata maupun maya

Devi menyarankan peran serta pemerintah sangat penting dalam permasalahan ini, termasuk memberikan hukuman kepada remaja yang melanggar norma-norma yang telah ditentukan. Hukuman tersebut tentu tidak mengakibatkan remaja kehilangan masa depannya.

“Misalnya hukuman kerja sosial dan pasti harus segera dibuat kurikulum etika di dunia offline dan online, karena keduanya ini tidak diajarkan. Offline hal sederhana misalnya mengantre, buang sampah pada tempatnya, menghormati orang lain, itu aja gak diajarin, apalagi etika di media sosial,” dia mencontohkan.

Kemudian, Devi melanjutkan, solusi jangka panjangnya adalah bagaimana agar ada bimbingan belajar bagi para orangtua dan guru, agar secara serius menangani anak-anak mereka pada era digital ini.

Selamat hari remaja internasional guys!

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuat media sosial menjadi sangat digandrungi oleh banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari Instagram, Twitter, hingga TikTok. Informasi dengan sangat mudah menyebar disertai dengan munculnya wajah-wajah baru yang berperan sebagai content creator. Hal itulah yang menyebabkan pula terjadinya trending topic suatu fenomena yang baru-baru ini terjadi, yaitu fenomena SCBD atau “Citayam Fashion Week”. Fenomena tersebut viral karena terdapat banyak foto dan video yang mengabadikan aksi remaja nongkrong di sekitar Sudirman, Jakarta Pusat.

Menyinggung terkait SCBD, SCBD sebenarnya merupakan singkatan dari Sudirman Central Business District di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Kawasan tersebut tergolong kawasan bisnis elit yang dicirikan dengan banyaknya gedung pencakar langit. Biasanya, kawasan ini didominasi oleh para pekerja kantoran dengan tampilan yang modis. Akan tetapi, akhir-akhir ini di kawasan Jalan Sudirman dipenuhi oleh banyak remaja nongkrong yang berasal dari pinggiran Kota Jakarta, seperti Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Alhasil, keadaan tersebut menyebabkan adanya penciptaan kepanjangan baru dari SCBD, yaitu Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok.

Tak hanya sekadar nongkrong biasa, kumpulan remaja tersebut juga diketahui menggunakan gaya fashion yang nyentrik dan unik yang berhasil mencuri perhatian. Tak jarang dari mereka yang berlomba-lomba untuk memberikan gaya fashion paling keren dari yang lainnya. Mereka juga berlakon selayaknya model-model catwalk yang salah satunya dilakukan di zebra cross. Hal itulah yang memunculkan adanya “Citayam Fashion Week”.

Analisis pakar sosiolog dari Universitas Sebelas Maret yang dilansir dari Kompas.com menjelaskan bahwasanya fenomena sosial tersebut didasari dari keinginan remaja untuk mengekspresikan diri. Berkaitan dengan berekspresi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekspresi merupakan pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya. Kebebasan berekspresi merupakan kebebasan melalui lisan, tulisan, serta audio visual. Kebebasan berekspresi termasuk salah satu hal yang cukup penting karena sebagai cara dalam menjamin pemenuhan diri seseorang untuk mencapai potensi yang maksimal dalam diri sendiri (Julianja, 2018). Oleh karena itu, mereka menunjukkan ekspresi dan eksistensinya melalui tren fashion yang ada. Mereka berusaha untuk menunjukkan bahwasanya mereka generasi yang up to date mengikuti perkembangan zaman. Selain mengikuti tren fashion yang kekinian, mereka juga eksis dalam teknologi, salah satunya media sosial. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya artis-artis dadakan media sosial yang berasal dari kalangan remaja, misalnya Bonge, Ale, Kurma, Wahyu, Mujair, dan Roy. Fenomena tersebut juga membuktikan bahwa menjadi seseorang yang stylish tidak hanya bisa dilakukan oleh masyarakat kalangan atas. Bahkan, fenomena Citayam Fashion Week yang nyentrik ini disorot oleh media luar negeri, yaitu media Jepang.

Fenomena Citayam Fashion Week tentu menimbulkan banyak dampak ditinjau dari berbagai perspektif. Dari perspektif lingkungan, kerumunan Citayam Fashion Week di SCBD, Jakarta Selatan ini membuat lingkungan tersebut menjadi terkotori akibat limbah plastik kemasan makanan dan minuman. Hal tersebut dikarenakan adanya kerumunan orang tentu akan menjadi daya tarik bagi penjual makanan dan minuman keliling. Selain itu, kegiatan yang berlangsung pada malam hari ini menyisakan hal yang ironi yang sempat viral di berbagai media sosial, yaitu terlantarnya anak-anak yang mengikuti Citayam Fashion Week di kawasan Stasiun Dukuh Atas. Mereka tidur di kawasan taman Stasiun MRT Dukuh Atas dan di sepanjang jembatan penyeberangan Stasiun MRT Dukuh Atas. Usut punya usut, menurut keterangan Wakil Gubernur Jakarta, Ahmad Riza Patria, yang dilansir dari https://metro.sindonews.com/, anak-anak tersebut tertinggal kereta yang akan mengantarkan mereka pulang ke daerah asal mereka, yakni Bogor dan Depok.

Tentunya, fenomena seperti Citayam Fashion Week harus disikapi dengan bijak oleh masyarakat maupun pemangku kepentingan setempat, dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah sebagai pengayom dan yang memiliki wewenang kawasan harus mampu mewadahi kreativitas remaja dengan baik dan tetap menjaga fungsi kawasan. Bagaimana pun kreativitas remaja merupakan hal yang menjadi potensi yang baik apabila diarahkan kepada hal yang positif, terutama masalah pendidikan dan karakter mereka. Kemudian, yang tak kalah urgen, yaitu menjaga fungsi kawasan dan keberlanjutan kawasan. Jangan sampai fenomena Citayam Fashion Week mengganggu penghuni dan menghambat kegiatan kawasan SCBD yang merupakan kawasan pusat ekonomi, lebih-lebih membuat kawasan tersebut kumuh dan mengalami penurunan kualitas lingkungan akibat sampah.

Scroll to Top