Teknologi Beri Peluang dan Sekaligus Berpotensi Perbesar Kesenjangan Masyarakat – Perkembangan teknologi terus membawa perubahan sosial di masyarakat, terutama di Indonesia. Dalam istilahnya telah terjadi digital paradox, di mana digital memberikan peluang kepada semua orang dan negara untuk berkembang, bahkan melakukan leap frog.
Namun di sisi lain, teknologi juga memperbesar kesenjangan apabila tidak memiliki kemampuan untuk mengakses dan memanfaatkan, serta bertransformasi. Sebab, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kendala akses terhadapa berbagai hal termasuk teknologi, yang menimbulkann gap.
“Saya ambil contoh UMKM yang sudah bisa menggunakan teknologi digital bisa menggunakan e-commerce, meskipun terkena PSBB tidak bisa melakukan produksi seperti biasanya, mereka tetap bisa berjualan, tapi UMKM yang tidak bisa menggunakan digitalnya dianggap tidak ada masalah. Ahli bidang Transformasi Digital, Kreativitas, dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Mitra Tayyiba di jakarta.
Digital gap ini, lanjut Mira, juga terjadi di pemerintah, misalnya ketika dua K/L harus menyusun kebijakan secara bersama, dimana salah satu pihak sudah paham potensi ekonomi digital, sementara lainnya belum menguasai isu atau tema tersebut.
“Banyak isu pembangunan yang sifatnya lintas, apabila kemampuan dan cara pikir ini berbeda dan harus membuat kebijakan bersama, ini akan sulit,” ujar Mira
“Jadi sekali lagi pada saat bicara digital yang harus ditanamkan pertama kali bagaimana digital ini harus bisa melayani semuanya, artinya inklusif,” sambung dia.
Tingkatkan Inklusif Digital
Menurut Mira, beberapa hal yang harus diperhatikan untuk inklusivitas digital ini.Pertama yaitu infrastruktur, baik itu jaringan telekomunikasi melalui backbone, backhaul, dan last mile, juga jaringan listrik. Termasuk aplikasi lokal dan infrastruktur data, baik data center maupun cloud.
Selanjutnya, literasi digital dan digital talent, yakni kemampuan untuk menggunakan media digital dan memanfaatkannya dengan sehat, bijak, cerdas, dan patuh hukum. Selain itu, juga kemampuan untuk memilah informasi dan memanfaatkan emerging technology. Kemudian Mira juga mengatakan pentingnya pola pikir dan budaya digital.
“Kita memang punya wawasan jangka panjang, tapi kita harus mampu mengoperasionalkan ke langkah jangka pendek serta bergerak cepat dan fleksibel sesuai dengan dinamika situasi,” beber Mira.
Terakhir, ada agility yang bisa digunakan untuk memecah silo, atau sekat-sekat, begitu juga dengan kolaborasi penta helix Academy, Business, Community, Government, dan MEdia.
“Media berperan untuk memperkenalkan budaya digital karena ini harus masif, harus semua orang bisa menggunakan digital, maka kita sangat memerlukan peran media untuk mengedukasi,” pungkas dia
Beberapa tahun terakhir, mayoritas negara-negara maju serta negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat telah mengalami penurunan share tenaga kerja secara drastis. Perubahan struktur tenaga kerja terjadi akibat hilangnya pekerjaan yang disebabkan oleh meluasnya inovasi dan teknologi.
“Hilangnya pekerjaan-pekerjaan lama disertai dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga kerja ahli yang tidak serta merta dapat dipenuhi oleh banyak masyarakat,” kata Robertus Robert saat menjadi narasumber pada the 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 yang mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the crossroad” secara daring, (21/10).
Dalam uraian Klaus Schwab, lanjut Robert, disebutkan bahwa pengambil keuntungan terbesar dari revolusi indutri keempat adalah para pemodal, industriawan penyedia tenaga intelektual atau modal psikis: para inovator, para penemu, dan shareholder-nya. Kondisi ini menegaskan adanya kesenjangan antara para pekerja dengan para inovator dan para pemilik kapital. Meluasnya ketaksetaraan sosial merupakan ancaman terbesar dari revolusi industri keempat.
“Uraian Schwab ini membawa kita kembali berhadapan dengan persoalan lama, bahwa di dalam sains dan teknologi, masyarakat kita mengalami progres, tapi progresivitas itu mengambil tempat dalam tatanan yang timpang,” kata Robert.
Segala kemajuan sains dan teknologi justru semakin menegaskan dimensi kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Begitu pula pada masa pandemi Covid-19, strata dan hirarki kesenjangan antar negara makin terlihat dan menguat. Negara-negara dengan ekonomi yang lebih miskin, sumber daya keuangan yang terbatas, dan sistem kesehatan yang rapuh, sering terjebak dilema antara menyelamatkan nyawa atau menyelamatkan ekonomi.
Sains dan modernitas telah menggantikan ide-ide dominan lama mengenai nasib, kesempatan, dan alam semesta. Hal-hal yang dulu diciptakan manusia sebagai kesempatan dan kemajuan, kini justru berbalik menjadi ancaman.
Teknologi semakin berkembang dalam bentuk yang tidak dapat lagi diperkirakan arah dan ujungnya. Hal ini memungkinan terjadinya kemampuan refleksi historisitas manusia sudah akan dilampaui oleh teknologi. Sehingga suatu saat, teknologi akan mengalami otonomisasi, terasing, dan lepas dari kendali manusia. Kemudian, sedikit demi sedikit, keyakinan manusia akan kemajuan industri akan sama dengan pesimisme manusia akan nasib bumi dan umat manusia di masa depan.
Menurut Gilbert, lanjut Robert, salah satu elemen menghadapi krisis globalisasi yakni melalui penyediaan kesehatan sebagai barang publik atau global. Refleksi solidaritas universal ini diperlukan dalam krisis global yang sedang terjadi, tidak hanya terkait pandemi Covid-19, namun juga untuk mempertahankan planet ini di masa depan.
The 5th Jakarta Geopolitic Forum 2021 yang dibuka oleh Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo ini dilaksanakan secara hybrid pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021, pukul 08.00 s.d. 15.00 WIB. Keynote Address acara JGF kali ini adalah Profesor Bambang Brodjonegoro. Selain itu, acara ini juga menghadirkan narasumber terkemuka dari tiga negara yakni, Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia.
Sepuluh narasumber terkemuka tersebut di antaranya, Mr. Rudy Breighton, M. B. A., M. Sc. CEO and Chairman of BR Strategic di Seattle Amerika Serikat; Prof. Dr. Robert W. Hefner, Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA),
Universitas Boston; Prof. Donald K. Emmerson Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center di Stanford University; Dr. Jean Couteau, Antropolog dan Budayawan dari Prancis; Dr. Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia; Dr. Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor
Universitas Islam Internasional Indonesia; dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS., Neurosains dari Indonesia; Baskara Tulus Wardaya, Ph.D., Sejarawan Indonesia; dan Dimas Oky Nugroho, Ph.D., Cendekiawan sosial-politik.