Alih Teknologi Penyulingan – Kupang (Antara NTT) – Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Kupang hingga kini belum mampu mengalihkan teknologi penyulingan air laut menjadi sumber air baku bagi masyarakat di wilayah ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini.
“Sebenarnya bisa kita manfaatkan teknologi (penyulingan) itu namun mahal biayanya. Saya kita ketersediaan keuangan daerah kita belum mampu kita belum mampu untuk itu,” kata Direktur PDAM Kota Kupang Noldi Mumu kepada Antara di Kupang, Rabu.
Dia mengatakan hal itu menjawab kemungkinan perusahaan yang mengurus pemenuhan kebutuhan air bersih warga itu memanfaatkan teknologi penyulingan air laut sebagai sumber air baku masyarakat di daerah itu.
Meskipun tidak menyebut secara pasti nominal harga pemanfaat teknologi penyulingan air laut itu, namun Noldi memastikan PDAM Kota Kupang belum mampu melakukan hal itu.
PDAM sampai saat ini masih memanfaatkan 18 unit produksi air baku yang bersumber dari sumber air permukaan dan sumber air bawah tanah. Sumber unit produksi itulah yang saat ini melayani pemenuhan kebutuhan masyarakat yang sudah hampir mencapai 12 ribu pelanggan.
“Dengan segala kondisi debit jika memasuki musim kemaraunya PDAM tetap melayaninya dengan pola distribusi dikurangi,” katanya.
Dalam konteks ketersediaan unit produksi yang ada, Noldi menyatakan memang sejatinya Kota Kupang memiliki bendungan berkapasitas besar untuk bisa melayani kebutuhan air baku warga sepanjang tahunnya.
Menurut dia, untuk kepentingan jangka panjang yang harus dilakukan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan air bersih warga Kota Kupang, upaya pembangunan Bendungan Kolhua di kelurahan itu harus segera direalisasi.
Bendungan Kolhua menjadi satu-satunya alternatif yang harus dilakukan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan air baku itu. “Kalau masih berharap dengan kondisi sumber air baku yang ada, maka saya khawatir pemenuhan kebutuhan air warga akan terabaikan,” katanya.
Masih normal
Ketika ditanya lebih lanjut mengenai kondisi debit air saat ini, Noldi mengatakan masih dalam kondisi normal.
“Ada sekitar 18 unit produksi milik PDAM Kota Kupang masih normal sampai saat ini akibat tingginya curah hujan selama 2016 sehingga berkontribusi yang cukup signifikan dalam menambah debit air minum yang ada pada 18 unit produksi yang ada.
Kondisi ini sangat berbeda dengan periode sama di 2016 silam, yang memasuki awal Mei sudah mengalami penurunan debit bahkan hingga 80 persen di semua unit produksi yang ada. Kondisi itu memaksa PDAM melakukan sejumlah cara tak biasa dalam melayani pelanggan.
“Di saat debit menurun maka suplai air ke rumah pelanggan akan dikurangi dan bahkan waktu alir dikurangi. Ini untuk menjaga agar seluruh pelanggan bisa mendapat bagian sama distibusi air berish itu,” katanya.
Dia berharap kondisi dengan debit normal atau maksimal ini bisa terus berlangsung hingga September yang merupakan puncak kemarau di wilayah ini. “Kita hanya bisa berharap namun semuanya tergantung alam,” katanya.
Para pelanggan diharapkan bisa menghemat pemakaian air di rumah masing-masing agar tidak terbuang. “Ini penting untuk tetap menjaga stabilitas pemanfaatan air di tempat pelanggan,” katanya.
“Tidak ada penurunan debit meski sudah mulai memasuki kemarau dan diprediksi akan berlangsung hingga akhir bulan ini sehingga suplai ke pelanggan akan terus normal,” katanya.
Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turut andil dalam upaya pemulihan fungsi lahan gambut. Salah satunya dengan memanfaatkan IPTEK inovatif berupa Teknologi Arang Terpadu dalam pengembangan sistem budidaya gambut oleh masyarakat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan sumber pendapatan alternatif dalam masa pandemi Covid-19 saat ini.
Kegiatan Implementasi IPTEK Arang Terpadu dalam Pengembangan Sistem Budidaya Gambut oleh Masyarakat untuk Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Sumber Pendapatan Alternatif, menjadi salah satu program BLI dalam kerangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Food Estate (FE) BLI KLHK.
Menurut Dr. Saptadi Darmawan, koordinator kegiatan IPTEK Arang Terpadu mengatakan bahwa lahan gambut yang sudah terbuka sering kali diartikan sebagai lahan tidak produktif dan pemicu kebakaran hutan. Persepsi tersebut terbentuk karena lahan gambut bersifat asam dan kurang subur untuk budidaya. Biomassa di lahan gambut yang sangat besar jika tidak dikelola dengan baik merupakan sumber bahan bakar potensial yang akan menyebabkan pelepasan emisi karbon ke udara.
Diinformasikan, program restorasi lahan gambut telah digalakkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kurun tahun 2016-2020 ditargetkan restorasi lahan 2,4 juta hektar. Sebagian lahan yang harus direstorasi tersebut merupakan kawasan lindung dan konservasi. Pendekatan utama restorasi gambut di Indonesia menerapkan metode 3R yaitu pembasahan kembali lahan gambut (rewetting), penanaman kembali (revegetasi) dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat. Pemulihan fungsi lahan gambut selayaknya memanfaatkan teknologi yang tepat, data yang akurat dan komitmen pelaksanaan yang kuat.
Saptadi menambahkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan berupa alih IPTEK Arang Terpadu dan implementasinya di lahan gambut untuk budidaya tanaman pangan dan penghasil minyak atsiri sebagai sumber pendapatan alternatif.
“Tujuannya adalah pemberdayaan masyarakat melalui alih teknologi arang terpadu sebagai upaya peningkatan pendapatan masyarakat dari budidaya di lahan gambut” ujar Saptadi dalam paparannya pada Kegiatan Monitoring dan Evaluasi PEN FE BLI KLHK yang dilaksanakan di Palangkaraya beberapa waktu lalu (17/11).
Peneliti yang bertugas di Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH) tersebut lebih lanjut menjelaskan bahwa kegiatan tidak dilaksanakan sendiri oleh P3HH BLI namun juga berkolaborasi dengan Universitas Palangka Raya (UPR). P3HH melaksanakan dua kegiatan dari empat ruang lingkup kegiatan tersebut.
“P3HH melaksanakan alih teknologi arang terpadu dan pembuatan alat produksi asap cair dan penyulingan minyak atsiri, sedangkan untuk kegiatan di lapangan membuat demplot aplikasi arang terpadu melalui pola agroforestry dan budidaya lebah madu trigona (kelulut) jenis itama dilakukan oleh UPR” kata Saptadi.
Kegiatan dilaksanakan di dua desa yaitu di Desa Garung, Kecamatan Jabiren Raya dan Desa Gohong, Kecamatan Kahayan Hilir, keduanya berada di wilayah administrasi Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah sendiri merupakan salah satu dari empat lokasi fokus program PEN-LHK selain Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Papua.
P3HH menyerahkan 10 set peralatan kepada masyarakat di lokasi tersebut berupa alat produksi asap cair (3 set), pemurnian asap cair (3 set), pencacah biomassa (3 set) dan alat penyuling minyak atsiri (1) set. Selain itu juga diserahkan 20 setup lebah madu trigona. Dari total pagu anggaran kegiatan sebesar R.p. 757.500.000, -, sebesar 52,82% memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat berupa peralatan dan bahan.
“Yang sudah kami identifikasi sampai saat ini sudah 52.28%, ini belum semuanya karena belum menghitung tenaga kerja dan pemeliharaan” ujar Saptadi dalam laporannya.
Penambahan ekonomi bagi masyarakat diharapkan didapatkan dari penjualan arang dan asap cair. “Arang cukup potensi, satu truk menghasikan dua juta, selain dari proses pengarangan masyarakat mendapatkan juga asap cair” pungkas Saptadi.
Arang terpadu, teknologi yang dalam proses dan aplikasinya dilakukan secara terpadu dari beberapa produk yang dihasilkan yaitu arang, arang kompos dan asap cair. Teknologi terapan ini ramah lingkungan karena memanfaatkan berbagai jenis limbah biomassa dan menerapkan teknologi rendah emisi. (LW & TS)